***
Entah berapa banyak buku
yang berserakan di lantai kamar ku yang tidak terlalu besar ini. Mama-ku pasti
akan sangat murka saat melihat kamarku ini yang sekarang sudah tidak terlihat
seperti kamar tidur, melainkan kapal pecah. Aku bukanlah anak baik yang
mempunyai inisiatif untuk membersihkan kamarnya, tidak sama sekali.
Aku mendesah putus asa
saat melihat deretan rumus Matematika yang sampai saat ini belum ku
pahami.Jujur saja, kalau bukan karena ujian yang sebentar lagi akan kuhadapi
aku enggan sekali untuk menghafalkan rumus rumus yang panjangnya bisa setengah
lembar. Aku sudah terlalu malas dan lelah berkutit dengan Matematika hari ini,
waktu seperti ini lebih baik digunakan untuk tidur siang.
Aku memejamkan mata
dengan tenangnya di kasur sambil memeluk guling kesayanganku. Tiba-tiba aku
mendengar teriakan Mama “Yaampun Karin, ini kamar apa kapal pecah sih?” Aku
tidak berkutik, masih memejamkan mataku rapat rapat. Aku merasakan Mama
mengguncangkan tubuhku keras keras. Aku masih dalam posisi nyamanku. Ia lalu
membalikkan tubuhku. “Gak usah pura-pura deh, udah cepet bangun!” Aku tidak
bisa menahan untuk tidak senyum, aku lalu segera bangun dari tidur palsuku.
“Apaan sih Ma?”
“Beresin dong kamar
kamu! Kamu kan anak gadis, masa males kayak gini? Mama dulu pas seumuran kamu
rajin banget gak kayak kamu!”
“Iya entar Karin
beresin, tenang aja” kataku sambil menguncir rambutku yang berantakan lalu
bangkit dari tempat tidur.
“Mau ngapain?” tanya
Mama sinis saat aku membuka pintu kamarku.
“Mandi”
“Beresin dulu”
“Nanti aja, Karin mau
les, entar kalo telat gimana? Kemarin Karin telat sebentar aja diomelin”
“Sebentar apa,
mulainya jam 4 kamu datengnya jam setengah 5. Gimana gak diomelin?” kata Mama
sebal.
Aku langsung kabur ke
kamar mandi, malas mendengar ocehan Mama. Lagipula wajar kan telat? Presiden
saja bisa telat, apalagi aku. Seorang pelajar malas.
***
Aku melangkahkan
kakiku lebar lebar saat memasuki gedung kursusku, aku mengambil kursus
B.Inggris. Tempat kursusku cukup terkenal di Indonesia, bayarannya pun cukup
mahal. Makanya Mama selalu mengomel jika aku tidak kursus, ‘sayang uangnya.
Kalau bukan buat kamu, mending Mama beliin yang lain’ begitu selalu katanya.
Dan aku hanya bisa mengiyakan jika Mama sudah mulai berbicara seperti itu yang
ujung-ujungnya pasti bersangkutan dengan ancaman tidak boleh menonton TV.
Sudah kuduga, kelas
sudah dimulai saat aku masuk. “Hi Karin, late again?” Aku tersenyum canggung
lalu mengangguk “Sorry, Miss” Aku langsung duduk di tempat kesayanganku, di
pojok dekat jendela. Aku senang duduk disitu karena saat pelajaran sudah mulai
membosankan aku bisa melihat ke luar jendela, walaupun pemandangannya tidak
indah. Hanya ada pangkalan ojek dan warung soto. Tidak lama kemudian pintu terketuk dan
terlihat seorang cowok yang masih mengenakan seragam sekolah. Dia kemudian
menyalami Mrs.Lenny dan melirik ke arah kursi di sebelahku yang masih kosong.
Dia juga telat tapi tidak ditegur oleh Mrs.Lenny, oh itu sungguh sebuah
penghinaan untukku! Itu tidak adil! Hey, tunggu dulu. Aku baru pertama kali
melihatnya, dia mungkin anak baru. Tapi kenapa Mrs.Lenny bersikap biasa saja
dan tidak memperkenalkannya kepada kami?
Oh, yaampun itu sungguh tidak penting. Karin, berhentilah memikirkan hal
hal yang tidak penting.
“Coba kalian kerjakan
Unit ten, page eighty five” kata Mrs.Lenny sambil membolak balik buku modul.
Aku segera mengeluarkan bukuku lalu membaca soalnya. Tidak terlalu sulit, saat
aku ingin mengerjakan aku merasa ada yang kurang. Pulpen! Aku tidak membawa
pulpen, oh yaampun aku lupa membawanya. Aku melirik cowok yang duduk di
sebelahku, ia sedang mengerjakan latihannya dengan serius tapi aku melihat
tempat pensil berwarna hitam di mejanya dan berniat untuk meminjam pulpen atau
pensil. Dia membawa tempat pensil, itu berarti dia membawa pulpen atau pensil
lebih. Aku berdehem “Sssstt” Aku mencolek lengannya, dia menengok sambil
menatapku heran. “Pinjem pulpen dong” kataku memelas. Dia lalu mengambil sebuah
pensil dari tempat pensilnya. Aku menaikkan sebelah alisku.
“Gue kan pinjemnya
pulpen”
“Nggak ada, adanya pensil”
Aku mendengus lalu
mengambil pensil yang sudah tumpul dari tangannya. Aku menatap pensil itu lekat
lekat.Ujungnya sudah menghitam, jika aku menulis menggunakan ini pasti
tulisanku akan berukuran dua kali lebih besar, terlalu buruk. “Woy, lu niat gak
sih minjemin pensil? Masa pensil kayak gini lu pinjemin” kataku kesal.
“Tsh, lo mau gak? Kalo
gak mau sini balikin! Udah dikasih pinjem juga. Sok banget” katanya membuatku
naik darah.
“Yaelah pelit banget
lo! Gue kan cuma mau pinjem pensil bukan pinjem duit” balasku seraya menatap
matanya tajam
“Lah, lagian lo
songong. Udah di kasih pinjem bukannya terimakasih malah protes segala”
wajahnya terlihat sangat angkuh membuatku ingin menamparnya sekarang juga.
Sabar Karin, sabar… Aku memilih untuk mengalah dan berusaha fokus kembali ke
pelajaran. Lihat saja nanti Mr.Annoying.
“Finish? Look at
conversation 3, Kevin as Steve, Karin as Volunteer” kata Mrs.Lenny sambil
menatapku dan cowok di sebelah ku bergantian, lalu tersenyum. Oh, namanya
Kevin. Namanya tidak sekeren orangnya, sungguh sangat disayangkan.
Dia mulai membaca
bagian dialognya.Aku sampai terbengong bengong memperhatikannya, dia membacanya
dengan aksen Amerika yang seperti di paksakan. Sungguh, aku tidak bisa menahan
tawaku.Itu terdengar sangat aneh menurutku. Aku menutupi wajahku dengan buku,
mencoba menyembunyikan tawaku yang sudah tidak bisa di tahan. Aku mengintip
sedikit, dan melihat Raka –salah satu teman kursusku yang cukup ganteng-- yang
tengah memerhatikanku dengan heran. Sepertinya dia menyadari bahwa sedari tadi
aku cekikan dibalik buku. Aku menarik nafas dalam dalam agar bisa menghentikan
tawaku ini, lalu aku merasakan lenganku disikut seseorang. Aku menoleh dan
melihat sosok menyeramkan milik Kevin, si Mr.Annoying.Mau dia apa sih?
“Apaan sih?!” kataku
ketus. Dia menatapku tajam lalu mendesah pelan.
“Giliran lu baca”
katanya lalu pandangannya kembali pada buku. Oh, yaampun. Aku lupa bahwa aku
yang kebagian membaca dialog bersamanya. Aku meringis saat Mrs.Lenny
memandangku dengan pandangan habis kesabaran. “Sorry Miss” ucapku pelan. Aku
kembali fokus ke buku dan kemudian bingung karena tidak tahu harus baca yang
mana.
“Sst, sampe mana
tadi?” bisikku ke Kevin. Ia menjawabnya dengan setengah hati, itu kentara
sekali karena ia berbicara seperti anak balita berumur empat tahun. Tidak jelas
apa yang di ucapkannya, aku benar benar tidak bisa menangkap apa yang di
ucapkannya. Lalu aku mengulang pertanyaanku, kali ini dengan sedikit bentakan
“Sampe mana?!”
“Karin? Kamu mau baca
gak?” Aku meringis untuk kedua kalinya pada Mrs.Lenny, aku pasti sudah di cap
buruk olehnya.
***
Menunggu di tempat
kursus adalah hal yang paling membosankan, terlebih lagi tidak ada satupun
orang yang bisa diajak bicara. Haruskah aku mengobrol dengan makhluk halus? Itu
bukan ide yang bagus. Aku berharap pintu kelas akan terbuka sedetik kemudian
dan akan muncul sesosok manusia.Aku bersumpah akan mengajak ngobrol orang itu
sampai pulang.
‘Cklek’ Pintu terbuka!
Aku menyesali sumpahku
tadi, sungguh. Sepertinya kali ini aku tidak akan melaksanakan sumpahku, karena
orang yang membuka pintu bukanlah orang yang kuharapkan. Lagipula, aku tadi
bukan sumpah pocong! Cuma sumpah bohongan.
Kevin masuk dengan
wajah datar, ia mengenakan kaos biru dan jeans berawarna senada. Jika dilihat
lihat, ia tidak terlalu buruk, yang paling kusuka adalah rambutnya. Ehm, itu
terlihat cukup keren. Hanya perilakunya saja yang membuatku ingin menjedotkan
kepalanya ke tembok.
Sudah beberapa minggu
terakhir, setiap kali pertemuan, Kevin dan aku pasti selalu bertengkar,
sebabnya macam macam. Hanya karena aku menghilangkan pulpennya yang pernah
kupinjam, ia langsung mempermalukanku dengan mengusulkan hukuman berjoget di
sesi games. Aku kalah dan harus berjoget di depan delapan pasang mata!
Bayangkan! Betapa malunya aku! Aku tidak mau kalah dengannya, pertemuan
berikutnya, aku menuangkan air di bangkunya. Saat orang orang ingin duduk di
bangku itu, aku melarangnya dengan alasan bangkunya tidak enak dan sering
mengeluarkan decitan saat digeser. Lalu, mereka akan dengan senang hati mencari
bangku lain. Untungnya saat itu Kevin datang terlambat, dan bangku yang tersisa
hanyalah bangku di depanku yang sudah kutuangi air. Aku melihat Kevin beberapa
kali mengubah posisi duduknya, ia pasti tidak nyaman karena tempat duduknya
basah. Dan saat dia bangun untuk mengerjakan soal, semua orang di kelas
menertawakan Kevin yang ‘mengompol’. Aku tertawa paling keras menandakan aku
sangat bangga dan senang bisa membalasnya dengan sama impasnya.
“Rin” terdengar suara
Kevin di seberang, aku dan dia duduk berseberangan. Aku menaikkan alis. Tumben
sekali dia memanggilku dengan sebutan nickname, biasanya kan dia memanggilku
‘orgil pasar’ Saat ditanya oleh Mrs.Lenny kenapa dia memanggilku dengan sebutan
itu, ia bilang aku mirip seperti orang gila di pasar yang pernah mengganggunya.
“Lu kenapa sih?”
tanyanya membuatku bingung. Aku kenapa? Memangnya aku kenapa? Aku baik-baik
saja.
“Gue gakpapa, lu yang
kenapa? Tiba-tiba nanya gue kenapa. Gue gakpapa, lu kali yang kenapa napa”
kataku membuat dahinya mengkerut, mungkin dia bingung apa yang kukatakan. Aku
pun begitu.
“Gue pengen damai ama
lo.Gue gak sanggup dikerjain mulu sama lo” dia tertawa kecil.. Hah, dia
menyerah. Sudah kuduga, aku lah yang jadi pemenangnya.
“Ya, gue tau lo bakal
nyerah. Ha.. Ha..” aku tertawa keras. Dia tersenyum geli.
“Gue minta maaf ama
lo, salah gue kayaknya banyak sama lo”
“Iya, emang salah lu
banyak banget. Sampe gak keitung. Gue maafin, selow. Gue juga minta maaf”
kataku sambil tersenyum
“Ha.. Ha.., bisa aja
lo. Iya, sama sama ya”
Aku mengangguk angguk
tanpa arti. “Eh lo kenapa mau minta maaf sama gue?”
“Kenapa ya…” dia
terlihat berpikir. Sok ganteng, membuatku ingin menimpuknya dengan sepatu. “Abis,
lu tuh kayaknya baik cuma tampangnya aja yang serem. Terus lu tuh kocak, apa
adanya. Gue gak pernah nemu cewe kayak lo di sekolahan gue” ungkapnya membuatku
bengong. Tidak percaya apa yang baru saja ia katakan. Jika hatiku ini adalah
bom, mungkin 3 detik lagi akan meledak. Satu…. Dua… Tiga… Duarrrrr!
“Loh tuh beda Rin”
katanya sambil menatapku, ia tersenyum malu malu membuatku ingin menggigit
bajuku sekarang juga.
“Beda apanya? Gue
makan nasi kok, sama kayak lo” ujarku sok polos.
Dia tertawa sambil memegangi
perutnya “Lo tuh alien kali ya”
“Sialan! Ngajak tempur
lagi lo?” Aku menggebrak meja yang menyatu dengan bangku ku.
Dia menggeleng kecil
“Sorry sorry, gak mau deh ribut ama lo lagi! Kapok!”
Aku melipat tanganku
di dada, dan memasang wajah angkuh. Told ya, he’s a poor baby.
“Eh Rin, lu punya
pacar gak?" tanyanya membuat ku tertegun.
***
Aku cukup tahu diri
untuk tidak terlalu berharap kepadanya, dan aku tidak ingin menanggapi kode
bahwa dia menyukaiku selama ini. Tapi aku juga manusia, aku punya perasaan. Aku
termasuk gadis yang peka terhadap perasaan orang lain. Aku selalu berpikir
bahwa semua gombalan yang ia lontarkan selama ini hanyalah lelucon, dan aku
hanya geer. Tapi, aku tidak bodoh. Aku bisa membedakan mana lelucon dan kode.
Aku berusaha menahan perasaan ini, tapi aku sudah tidak bisa. Aku menyukainya.
Aku baru menyadari
bahwa dia bukan cowok sembarangan, banyak gadis yang menginginkannya. Alisnya
yang tebal dan senyumnya yang manis adalah hal yang paling menarik dari
dirinya. Dia punya otak yang cerdas, gerak gerik yang menarik dan terlihat
keren. Dia pandai berbicara, pandai bergaul, pandai dalam segala hal. Dan
semenjak aku tahu dia adalah anak dari pemilik tempat kursus ku, aku mulai
menjaga sikap kepadanya. Kalau tidak, bisa saja dia mengadu kepada orang tuanya
dan bayaranku akan menjadi tiga kali lipat.
Sedangkan aku? Aku
hanyalah gadis biasa, terlalu biasa. Tidak ada hal yang menarik dari diriku.
Walaupun aku tidak jelek, aku juga tidak cantik. Pintar? Tidak. Bodoh? Tidak.
Biasa saja. Jadi, apa yang bisa ku bandingkan dengan Kevin? Aku sama sekali
tidak bisa di banggakan, Mama juga sering bilang begitu. Dan aku baru
merasakannya sekarang. Tapi, guruku pernah bilang bahwa tidak ada manusia di
bumi ini yang tidak memiliki kelebihan. Ya, semoga saja.
Jadi, aku berniat
untuk menjaga jarak dengan Kevin. Aku tidak ingin terjebak. Kalau bisa, aku
ingin hatiku tidak bisa menyukai orang lain selain jodohku nanti. Itu jauh
lebih baik bukan? Daripada menyukai seseorang, mengorbankan segalanya demi
orang itu, mencintainya sepenuh hati. Tetapi, dia bukan jodoh kita. Sia-sia
saja kan?
“Rin, bareng gak?”
tanya Kevin saat kami keluar kelas. Aku dan dia jadi sering pulang bersama
semenjak permintaan maaf Kevin tiga minggu lalu. Aku ingin menolaknya kalau
saja ia tidak menarik tanganku.
“Aduh, sorry vin.
Kayaknya kita gak bareng dulu. Gue mau bareng Dimas” kataku sambil mendekati
Dimas yang baru saja menaiki motornya. Dimas terlihat bingung, tapi segera
langsung ku lingkarkan tanganku ke lengannya erat erat hingga dia sedikit
meringis. “Iya vin, Karin bareng gue. Kemarin gue udah janji mau nganterin dia
pulang gara gara gue kalah taruhan bola sama dia” ujar Dimas diiringi senyuman
terpaksa.
Kevin menaikkan
alisnya, dan wajahnya tiba tiba terlihat bete. “Tenang vin, gak akan gue
apa-apain si Karin. Dia bukan tipe gue banget” kata Dimas membuatku kaget bukan
main. Langsung saja kujenggut rambutnya gemas, dia meringis. Rasain! Lagian
ngaco banget dia ngomongnya!
“Iya tau gue, anterin
sampe rumah ya dengan selamat” kata Kevin lalu tersenyum kepadaku. Aku membalas
senyumannya kikuk. “Ayo cepet naik! Mau bareng gak?” gerutu Dimas sambil
memakai helm-nya. Dengan kesal aku naik ke motornya.
“Sorry gue ngerepotin
lo Dim” kataku.
“Iya santai aja. Lagi
kenapa lu gak bareng Kevin?”
“Ng, gue gak enak sama
dia. Masak numpang terus”
“Ha..Ha.., ngapain gak
enak sama dia? Dia justru dengan senang hati nganterin lu pulang sampe rumah
setiap hari kalo bisa”
Aku terdiam, apa
maksud Dimas? Kevin akan senang hati mengantarku sampai rumah setiap hari kalau
ia bisa. Apakah dia benar benar menyukaiku? Ah, tidak mungkin! Dimas melihatku
terdiam bingung dari kaca spionnya.
“Lu gak tau apa kalo
Kevin suka sama lu?”
“Ng, nggak” jawabku
seadanya membuat Dimas menggelengkan kepalanya sambil tertawa.
“Dasar Karin pele! Lu
gak sadar apa selama ini lu dikodein sama dia?”
“Aduh gak tau deh. Ya,
abis gue pikir dia kodein semua cewe kayak gitu”
“Ha..Ha.., iya emang
si Kevin punya banyak temen cewek. Tapi, kalo dia suka sama satu cewek. Berarti
cewek itu bener menarik perhatiannya. Kevin kalo suka sama sama cewek, dia
serius banget loh Rin”
“Oh ya?”
“Iya, percaya sama
gue. Dia suka banget sama lo. Cuma lo nya aja yang pea”
***
“Kevin, could you
please sing a song?” pinta Mrs.Lenny saat waktu pulang tinggal kira kira lima
menit lagi. Ya, Kevin adalah murid kesayangan Mrs.Lenny.
Kevin terlihat ragu
tapi akhirnya dia mengangguk. Ia lalu maju ke depan dengan sangat percaya diri.
“I will sing a song by John Legend, All Of Me” Dia tersenyum, lalu menatapku
sebentar membuat perasaan ku tak karuan. Gara-gara perkataan Dimas kemarin, aku
jadi makin menjauh dari Kevin. Entah kenapa.
“Cause all of me,
loves all of you. Love your curves and all your edges, all your perfect
imperfections. Give your all to me, I’ll give my all to you. You’re my end and my beginning even when I
lose I’m winning”
“Great, is the song
dedicated for someone?”
“Yes, and that someone
is here with us”
“Wow, really? Who is
she?”
“Karin”
Sungguh, jika sekarang
di tas ku ada bom. Aku akan meledakannya sekarang juga, karena aku tidak bisa
menahan perasaan bahagiaku. Oh yaampun, ini terlalu mengejutkan untukku.Kevin
mendekatiku lalu tersenyum. “Would you be mine?” bisiknya.
Entah mengapa, aku
langsung mengangguk pelan. Ini gila. Dia gila. Aku lebih gila.
0 comments:
Post a Comment