Warning : I know this story is sucks, but you're not allowed to copy it without my permission, thankyou,mwa.
Berangkat ke sekolah disaat liburan sehabis Ujian
Nasional adalah hal yang paling menyebalkan selama menjadi seorang pelajar.
Ain’t nobody got time for that! Tidak, aku tidak ingin berangkat ke sekolah.
Tidak sama sekali. Aku sedang bahagia – bahagianya menikmati liburan panjangku
dengan malas malasan dirumah, dan sekarang aku mendapat kabar bahwa murid kelas
12 diwajibkan masuk ke sekolah hari ini?! Apalagi hanya untuk pengumuman tidak
penting yang bisa ditanyakan oleh wali kelas.
To : Nopi Siwonest
“Gue gak mau masuk hari ini, males”
Aku membalas pesan singkat dari Nopi dengan gemas.
Aku bingung kenapa anak itu rela saja masuk sekolah hanya ingin bertemu dengan
sang pujaan hati, Abrar. Oh, sungguh. Dia harus membuka matanya lebar
lebar.Abrar adalah laki-laki ter-songong yang pernah kutahu.
Tak lama terdengar seseorang meneriaki namaku dari
luar rumah. Tanpa melihat siapa orangnya pun aku sudah tahu, pasti Salsa. Entah
setan apa yang merasuki dirinya itu sehingga dia niat sekali masuk sekolah hari
ini. Ada apa dengan semua orang? Oh, guys! C’mon! Don’t you enjoying our fucking
long holiday?
“Sa, lu mau masuk?” tanyaku saat menemui Salsa yang
terlihat cukup rapih dengan seragam tanpa menggembol tas sekolahnya. Salsa
hanya tersenyum lebar lalu mengangguk semangat. Aku merasakan hatiku sesak saat
menyadari tidak ada yang mengikuti jejakku untuk bolos ‘sekolah’ hari ini.
“Lu belum mandi, Sar?” tanya Salsa seraya
memperhatikanku yang masih mengenakan baju tidur. Aku menggeleng. Salsa
mendesah pelan sambil memutar bola matanya kesal.
“Yaudah sana mandi”
“Tunggu didalem”
“Gausah, udah sana! Mandinya cepetan ya, kalo perlu
gausah sabunan sama sikat gigi” kata Salsa. Ia terlihat sebal karena aku yang
ingin ia ajak berangkat bersama ternyata belum bersiap siap, kentara sekali
dari wajahnya yang kini menekuk. Lagipula aku memang tidak niat.
Akhirnya aku mengalah lalu masuk kedalam sementara
Salsa dengan perasaan jengkel menunggu diluar dengan sabarnya. Mandi kilat
adalah jalan satu satunya agar Salsa tidak menerkamku daripada aku menemuinya
satu jam lagi hanya karena durasi mandiku yang mengalahkan durasi konser metal.
***
Aku dan Salsa memasuki lapangan sekolah—Aula sedang
direnovasi, jadi murid-murid dipindahkan disini—yang kini sudah dipenuhi oleh
murid murid kelas 12 yang tengah mengira mengira pengumuman apa yang akan
disampaikan. Mataku kini mencari cari batang hidung Nopi, dia pasti sudah
datang lebih awal dengan satu alasan : Ingin bertemu dengan pujaan hati.
“Sar, tuh Nopi tuh” Salsa menyikutku lalu menunjuk-nunjuk
kerumunan. Katanya ada Nopi, dimana? Aku tidak melihatnya.
“Mana sih?”
“Ih, masak gak keliatan sih Sar” ujar Salsa jengkel.
Ia lalu menarik tanganku menembus kerumunan hanya untuk berjumpa dengan Nopi. Oh,
so sweet bukan? Kalau Nopi tahu mungkin dia akan sangat terharu dan bahkan
mungkin pingsan jika Abrar yang melakukan pengorbanan itu. Oh, maaf. Itu
terlalu hiperbola.
“NOPIIIIIIIII” teriak Salsa saat jarak kami tinggal
beberapa meter lagi dari Nopi yang sedang anteng memperhatikan apa saja yang
yang di ucapkan oleh guru. Tapi sepertinya teriakan Salsa cukup mengambil
perhatian beberapa murid dan bahkan mungkin guru yang sedang berbicara di
depan.
“Siapa tadi yang teriak? Ayo maju kedepan” kata Pak
Beo lewat mikrofon. Oh, shit. Sekarang beberapa mata yang mengetahui teriakan
itu berasal dari Salsa memperhatikan aku dan Salsa intens. Salsa menempelkan
telunjuknya di bibir, berharap cewek-cewek itu mau tutup mulut.
Teriakan Salsa memang seperti lolongan yang mampu
membangunkan mumi-mumi di mesir saking spektakulernya. Wajah Salsa memucat, ia
pasti takut sekali. Jika ia maju kedepan kemungkinannya ada dua : Dipermalukan
di depan beratus ratus pasang mata dengan cara menyuruhnya jalan jongkok
memutari lapangan atau di omeli dengan kejamnya setelah pengumuman di sampaikan.
“Ayo cepat maju kedepan atau bapak yang seret
kedepan” terdengar teriakan Pak Beo dari mikrofon lagi. Mungkin sekarang diatas
kepala Pak Beo sudah ada tanda seru merah menandakan kalau pria tua itu benar
benar marah.
Aku tidak akan rela kalau Salsa dipermalukan didepan
semua orang, bagaimanapun juga dia teman sehidup semati. Aku lalu menyeret
Salsa ke barisan anak laki-laki. Kalau kami sembunyi di belakang kerumumunan
laki-laki yang berutubuh tinggi pasti tidak akan kelihatan. Akhirnya kami
bernafas lega saat Pak Beo kembali melanjutkan pengumumannya yang sempat
terhenti tadi.
“Aww” aku meringis saat sepasang kaki yang
membelakangiku menendang kepalaku. Sang pemilik kaki berbalik badan lalu memandang
ku dan Salsa heran.
“Lu gapapa, Sar?” tanya Salsa saat melihatku masih
meringis sambil mengusap kepala.
“Eh, lo ngapain disini?” tanya laki-laki itu sambil
menatapku sinis. Aku menarik nafas gusar.
“Suka-suka gue dong. Eh tapi, tadi lo nendang kepala
gue!”
“Lah, lagian lo ngapain jongkok dibelakang gue?”
“Eh songong lo tau gak?! Sakit nih kepala gue!”
omelku tak terima. Enak saja, memangnya kepalaku ini bola?
“Gue gak sengaja, bawel amat sih lo! Yaudah gue minta
maaf” katanya sambil mengulurkan tangan tak ikhlas. Aku membalasnya sama tak
ikhlasnya. Dan dengan gerakan cepat aku menarik tangan Salsa untuk ke kantin
meninggalkan laki-laki itu yang sepertinya mengumpat didalam hatinya.
.
.
.
Aku masih mengusap usap kepalaku yang masih terasa
nyeri akibat ulah laki-laki yang tak ku tahui namanya tadi. Tendangannya cukup
keras, aku bersyukur karena aku tidak sampai terkena Amnesia.
“Masih sakit, Sar?” tanya Salsa setelah membayar
cappucino cincau yang baru saja ia beli. Aku mengangguk kecil sambil memasang
wajah melas agar Salsa iba dan ingin membantuku untuk balas dendam kepada
laki-laki sialan itu.
“Lu kenal gak si sama cowok tadi?” tanyaku lalu duduk
di bangku kantin yang diikuti Salsa.
“Ya kenal lah, dia kan anak kelas 12D IPA” jawab
Salsa dengan tatapan ‘Emangnya lo gak tau?’ Aku mendesah pelan.
“Iya tau dia kelas sebalah, tapi gak tau namanya”
“Yaampun Sarah! Lo gak tau dia siapa?” Salsa mulai
histeris, dia menaruh cappuccino cincau nya di meja kantin lalu menatapku heran
seperti aku adalah spesies langka. Aku memutar bola mataku kesal. Memangnya
kenapa kalau aku tidak tahu dia?
“Emang gatau, terus kenapa?”
“Dia itu Dandi, mantannya Lulu anak 12A IPA itu lohh.
Lo kemana aja deh, Sar? Masak gak tau Dandi?”
Aku mengangguk angguk sok mengerti. Dandi? Namanya
memang sering kudengar, tapi tidak tahu kalau sang pemilik nama itu adalah
laki-laki yang menendang kepalaku.
“Gue masih gak terima tadi dia nendang kepala gue”
protesku.
“Yaelah, Sar. Dia gak sengaja kali, lagi siapa suruh
lu jongkok di belakang dia?”
“Ih, kok lu belain dia sih? Bantuin bales dendam
dong”
Salsa mendengus lalu membuang gelas plastik yang
kosong ke tempat sampah ,ia menatapku datar. “Gue gak mau”
“Kenapa gak mau?” teriakku kepadanya.
“Dia lumayan, sayang kalo dikerjain. Mending lo
gebetin aja deh, kalo gak salah dia juga lagi jomblo tuh” ujar Salsa lalu
tersenyum.
Hell.No.
***
Kurasa Salsa sudah tidak waras lagi. Sungguh, aku
akan menghapus file di komputernya yang berisi foto,lagu,dan video Justin
Bieber jika dia benar benar menjalankan rencana gilanya. Ia ingin menjadi mak
comblang untukku dan Dandi, cowok gila yang tempo hari menendang kepalaku.
“Gue gak mau, Saa”
Salsa mendecak sebal, ia lalu bertolak pinggang. “Lo
harus mau, Sar! Lo tuh cocok banget sama Dandi” kata Salsa sambil mengerjapkan
matanya berkali kali, persis seperti saat ia melihat cowok ganteng.
“Plis deh, ya. Cowok ganteng gak cuma dia!” jawabku
sebal lalu melipat tanganku di dada.
“Tapi lo cocok banget sama dia, Sar”
“Bodo amat, lagipula gue kan gak kenal sama dia”
“Makanya kenalan, entar sore dia jemput lo. Dandan
yang cantik ya” kata Salsa menggoda lalu mengambil roti bakar yang tadi Mama
siapkan dan pergi meninggalkan aku yang bengong.
Oh,Shit.
.
.
.
Bunyi klakson motor didepan rumah sungguh
menggangguku yang tengah asyik menonton Drama Korea favoritku. Sial, siapa
orang gila yang memainkan klakosnnya manghrib-maghrib begini?
“Rah, coba kamu liat didepan. Siapa yang mainin
klakson. Ganggu aja” kata Mama dengan raut wajah kesal, Mama sepertinya juga
terganggu. Aku langsung keluar dengan pakain rumah—celana trainee dan kaos
tipis hitam. Aku melihat seorag cowok yang membawa motor tepat di depan
rumahku.Aku mengernyit, siapa? Tukang kerupuk yang menagih uang? Kok ganteng
sih..
“Siapa ya?” tanyaku setelah membuka gerbang dan
berdiri tepat didepan motornya.
Cowok itu memperhatikanku dari ujung kaki sampai
ujung rambut. Ia lalu tersenyum simpul. Walaupun gelap, aku masih bisa menyimpulkan
bahwa dia benar-benar seorang cogan.Dia lalu berdehem, seperti menyiapkan kata
kata untuk dilontarkan.
“Gue Dandi”
What?! Dandi? Untuk apa dia kesini? Jadi, ucapan
Salsa tadi siang itu sungguhan? Bagaimana bisa dia mengetahui rumahku? Sial.
“Ngapain kesini?”
“Lah, lo kan yang minta gue kesini?” Dandi terlihat
heran, ia lalu turun dari motornya dan mendekatiku. Aku bisa mencium aroma
tubuhnya. Wangi.
Aku terdiam, berpikir. Ini pasti ulah Salsa sialan
itu. Aku mengumpat dalam hati, Salsa memang benar benar ingin dibuang ke lubang
yang di penuhi buaya.
“Aduh sorry, itu kayaknya kerjaan Salsa deh. Bukan
gue. Sorry ya, kalo gak lo kerumah Salsa aja deh” kataku memelas. Bagaimanpun
juga aku tidak mau jalan dengannya, aku bahkan tidak mengenalnya. Kalau dia
ingin macam-macam bagaimana?
Dandi mendesah pelan. “Gak mau, gue udah cape cape
dateng kesini dan sekarang lo ngusir gue? Gue gak perduli siapa yang ngajakin,
yang penting gue ada temen buat jalan malem ini”
“Tapi gue—“
“Gak ada tapi-tapian, sekarang ikut gue” Dandi
menarikku untuk naik ke motornya. Aku menahan kakiku agar tidak terseret sekuat
tenaga. Mama, tolong. Aku diculik.
“Mamaaaaa, to—“
Dandi mendekap mulutku lalu menggendongku ke
motornya, mendudukanku di depan lalu ia duduk dengan santainya di belakangku.
.
.
.
.
“Lo cemburut mulu, ah gak asik lo”
Aku semakin menekuk wajahku, jelas saja aku cemberut.
Aku tidak senang di bawa pergi dengan paksa olehnya. Dia itu aneh, berjanji
membawaku jalan-jalan, tapi sekarang aku malah di bawa kerumah temannya.
“Gue mau pulang” ucapku tegas. Dandi yang tadinya
hendak berjalan ke pintu rumah temannya, sekarang berbalik menatapku. Aku
memasang wajah yang paling menyeramkan. Dia mendesah, lalu menghampiriku.
“Tunggu dulu ya, gue ada urusan sama temen gue.
Sebentar aja, plis” kata dia lembut, aku tahu itu adalah triknya agar aku
membatalkan niatku untuk pulang.
“Gue. Gak. Mau!” kataku keras, ada penekanan disetiap
katanya.
Dandi mendesah lagi, ia lalu mendekat lagi hingga
kini aku tepat didepan dadanya. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, sial.
What’s wrong with me? Dandi memegang kedua bahuku lalu meremasnya, ia
menatapku. “Gue mohon, sebentar aja”
Oh, ya tuhan. Apa yang ia lakukan? Kenapa aku jadi
panas dingin seperti ini? Aku meneguk ludah, lalu membuang pandanganku
jauh-jauh. Tidak sanggup melihat wajahnya sedekat ini. Baik, aku menyerah.
“Yaudah, cepetan tapi”
“Iya Sarah” Dandi tersenyum sambil mengacak acak
rambutku. Dia lalu mengetuk pintu rumah temannya, dan tak lama keluar seorang
cowok yang ku tahu adalah anak kelas 12B IPA. Mereka bernincang bincang
sebentar sampai akhirnya Dandi menarikku masuk ke dalam rumah temannya itu. Kalau
tidak salah namanya, Andre.Dia pernah terlibat kasus membawa ganja ke sekolah.
“Siapa nih, Dan? Anak kelas 12C IPA ya?” tanya Andre
sambil melirik ku.
“Iya, Sarah namanya” jawab Dandi lalu duduk di
sebelahku. Aku hanya bisa diam.
“Cewek baru lagi?” Andre tersenyum mengejek.
“Iya” jawab Dandi santai membuatku membulatkan mata
lebar lebar. Apa yang dia maskud?
“Eh, gue—“
“Kamu tadi mau makan kan? Yaudah, yuk.” Dandi meraih
tanganku lalu menggenggamnya, tubuhku mulai gemetar. Ada apa dengannya?! Ia
bahkan tidak berpamitan pada sang penghuni rumah.Dandi menarik tanganku keluar,
ia menggenggam tanganku kuat-kuat, telapak tangannya yang hangat sangat ermm
nyaman. Eh.
“Maksud lo apaan sih?”
“Udahlah, gausah di bahas” Dandi mengambil helm lalu
memakaikannya ke kepalaku yang kini dipenuhi tanda tanya. Aku mendecak pelan
lalu menarik nafas dalam-dalam.
“Ayo naik, ngapain malah bengong?” Dandi menyalakan
mesin motornya, dan dengan berat hati aku naik ke motornya.
***
“Halo?” Aku menjawab telfon entah dari siapa, mataku
masih tertutup rapat. Siapa yang menelfon pagi-pagi seperti ini disaat aku
sedang asyiknya berpacaran dengan kasur ku.
“Hai, Sarah” Suara Salsa di seberang sana langsung membuat mataku terbuka lebar
sekarang. Aku akan menghabisinya lewat telfon kali ini.
“Eh kampret lo, maksud lo apaan nyuruh nyuruh Dandi
kerumah gue? Hah?! Sialan banget lo! Gue gak terima pokoknya, Saaaaaaaaaaaa” kataku
yang diakhiri teriakan panjang yang amat kencang dan mungkin Salsa kini
menjauhkan ponsel nya dari telinga.
‘Tut tut tut’
Hell, Salsa memutuskan sambungannya. Terkutuk kau,
Salsa. Aku tahu dia memang manusia jail yang tidak tahu akan dosa, tapi setega
itukah dia menjaili sahabat sehidup sematinya ini? Setega itukah? Oh, aku
kecewa. Sungguh.
From : Salsa Bieber
“Sarah babygirl kuuu, kamu jangan marah ya sayang
yahh! Aku kan cuma mau comblangin kalian berdua ajaaaa :D Aku gak tega ngeliat
kamu kesepian terus, makanya aku kasih tuh cowok cakep hehe. Gimana datingnya
semalem?”
You’re kinda give me shit,
Salsa.
Apa maksudnya? Apakah dia
berpikir aku kesepian? Oh, sungguh sama sekali tidak. Ya, baik memang aku
kesepian. Tapi tidak seperti ini caranya, menyuruh cowok aneh yang menyebalkan
menjadi partner ku. Seharusnya, jika dia benar benar ingin mencarikanku pacar,
ya setidaknya cari cowok yang seperti Justin atau paling tidak seperti Logan
Lerman.
Ponsel ku berdering lagi,
seberani itukah Salsa menelfon ku lagi? Apa dia sudah siap menerima cacian
pedas yang akan kulontarkan nanti?
“Nagapain lo nelfon gue? Hah?
Mau ngejek gue lagi? Atau lo—“
“Eh, Sar” terdengar suara cowok
di seberang sana, berarti ini bukan Salsa? Aku melihat layar ponselku, nomer
yang tidak di kenal.
“Siapa?” Aku merendahkan
suaraku.
“Ngg, gue Dandi”
Aku hampir saja membanting
ponselku jika saja tidak mengingat betapa banyak foto-foto Justin di sana. Aku
mencoba setenang mungkin, ini mudah. Hey, kenapa aku jadi tegang seperti ini?
“Kenapa?”
“Gue mau minta maaf soal
semalem. Gue udah maksa lo buat ikut gue” Suara Dandi terdengar sangat lembut
dan tulus, astaga.
“Iya” jawabku seadanya, aku
mendengar hembusan nafas Dandi dari seberang sana lewat telfon.
“Maaf ya, kalo lo gak suka
jalan sama gue semalem”
“Kita gak jalan, kita kerumah
temen lo”
“Iya, sorry Sar. Abis gue
bingung mau ngajak lo kemana, lagipula semalem gue juga ada urusan sama Andre.
Maaf ya semalem gue ngaku-ngaku jadi pacar lo,gue khilaf haha”
Aku mendengus, dasar aneh.
“Ya”
“Jangan marah dong, Sar. Maaf
ya, eh nanti malem mau jalan lagi gak sama gue?”
Deg, what the fuck did he say.
.
.
.
Aku memutuskan untuk kerumah
Nopi sendirian, tidak mungkin aku kesana bersama Salsa. Dia sedang manjadi
musuh sementara ku. Aku ingin cerita tentang semuanya yang ku alami kepada
Nopi, aku tidak tahu harus cerita kepada siapa lagi selain Nopi.
“Nopiiiiiiii” teriakku dari
luar rumahnya, tak lama keluar seorang cewek berambut acak-acakan yang hanya
menganakan kaos tipis dan celana jin abu-abu, yang tak lain yang tak bukan
adalah Nopi.
“Masuk, Sar”
“Nopi belum mandi ya?” tanyaku
saat masuk kerumahnya, Nopi mengangguk pelan. Sudah kuduga.
“Gimana dating lu waktu itu
sama Dandi?”
“What, lo tau juga?!” Aku mulai
histeris, bagaimana Nopi tahu? Salsa, astaga.
“Iya, gimana semalem? “ tanya
Nopi lagi sambil mengambil handuk yang digantung di depan pintu kamar mandi
lalu mengalungkannya di leher.
“Gimana apanya? Dia itu
ngeselin tau gak, masak gue diajakin kerumah Andre anak 9B itu. Terus dia
ngaku-ngaku jadi pacar gue. Ew”
Nopi tertawa setelah beberapa
saat, ia lalu menatapku sambil tersenyum. “Chukkae, Sarah”
Aku terdiam sebentar, selamat
untuk apa? Aku lalu mengikuti Nopi yang menuju ke kamar mandi, “Selamat buat
apa Nop?” kataku saat aku berdiri tepat di depan pintu kamar mandi yang baru
saja tertutup. “NOPI MAKSUDNYA APAA?!”
***
Hari ini aku pergi ke sekolah hanya untuk menemui
Salsa dan Nopi. Bukan rindu yang menjadi alasanku untuk ke sekolah di pagi hari
yang malas ini, tapi penjelasan seorang Salsabila yang sangat kubutuhkan.
Aku masuk ke kelas 12A IPS—kelas Salsa—, yakin sekali
bahwa mereka sekarang ada disana sambil minum atau makan sesuatu dengan lagu
All Too Well dari Taylor Swift menjadi backsoundnya. Salsa menoleh kearahku
lalu tersenyum simpul. Entah jenis senyum apa itu.
“Hai babygirl” Salsa menyapa duluan.
“Gausah basa basi deh, Sa” kataku. “Jujur, gue gak
ngerti maksud semua kejailan lo ke gue kali ini. Lo nyuruh Dandi buat dateng
kerumah gue buat dibawa ke rumah temennya yang gak gue kenal itu. Gini deh,
maksud lo apa?”
Salsa terdiam selama beberapa saat sampai akhirnya ia
tertawa kecil, dan tawa itu semakin besar seiring tatapan anehku dan Nopi yang
kami tujukan untuk Salsa. Ia sudah benar-benar gila.
“Salsa, plis, gue serius” aku mendekati Salsa yang
masih tertawa, ia berhenti sebentar lalu tersenyum bodoh. “Trik lo buat
ngehindar dari gue kali ini gak berhasil” Aku tersenyum penuh kemenangan
sedangkan Salsa memperlebar senyumannya.
“Lo bener-bener mau tau ceritanya?” tanya Salsa
sambil sedikit memiringkan kepalanya. “Oke”
“So, tell me now”
“Okay?”
“Okay”
“Okay”
“Salsa, just fucking stop. You’re not an Augustus
Waters”
“And you’re not Hazel Grace”
Aku memutar bola mataku jengah. Anak ini benar benar
tahu bagaimana harus menghindari serangan harimau.
“Oke, sekarang kasih tau” kataku.
“Oke, jadi waktu itu gue—“
Seseorang memotong perkataan Salsa dengan menyebut
namaku, aku mencari sumber suara dan merasa jengah saat melihat si pemotong
percakapan itu.
“Wah, pangeran Sarah dateng” kata Nopi sambil
memberiku tatapan mengejek.
Dandi mematung di depan pintu kelas, ia terlihat
gugup. Tapi akhirnya ia berkata “Sarah, ngg ikut gue ya? Plis?”
“Gamau”
Dandi menghembuskan nafas nya gusar, ia terdiam
sebentar lalu akhirnya meraih telapak tanganku dan menariknya ke ruang lab
komputer yang sepi. Aku terpaksa mengikutinya walaupun sebenarnya malu karena
menjadi sorotan adik kelas, apalagi sekarang jam istirahat.
“Eh, ngapain sih kesini?” kataku. Tanganku masih
menyatu dengannya.
“Gue mau ngomong sama lo,penting.” Kata Dandi tanpa
melepas genggaman tangannya yang cukup kuat itu.
“Kenapa harus disini?”
“Gue cuma pengen ngomong sama lo tanpa ada yang
nguping”
“Yaudah cepet ngomong, terus bisa gak lo lepasin
tangan lo?” kataku sarkastik.Dandi langsung melepaskan genggamannya dan
mendadak menjadi gugup.
“Jadi, gue minta maaf lagi sama lo soal waktu itu.
Gue bener-bener gak bermaksud ganggu lo, gue butuh banget temen buat jalan
waktu itu—“
“Kita gak jalan, kita kerumah—“
“Oke,iya kita kerumah Andre. Gue minta maaf, Sar”
Dandi meletakkan kedua telapak tanggannya di bahuku, lalu meremasnya. “Gue
mohon”
Sorot mata Dandi membuatku gugup,sial. Bagaimana bisa
dia membuatku seperti terbang dengan hanya manatapku seperti itu. Jika aku
Olaf, mungkin aku benar-benar meleleh sekarang.
“Iya, iya” kataku. “Lo kenapa sih butuh banget maaf
dari gue?”
Dandi tertawa.
“Karna gue gak mau lo ngejauhin gue”
***
“Rah, jangan diganti-ganti terus” kata Mama lalu
merebut remote TV dari tanganku.
Aku merebahkan tubuh di kasur tipis yang memang
sengaja digelar di depan TV agar acara menonton bersama keluarga lebih
menyenangkan. Aku bisa berguling-guling
kapan saja saat merasa kesal jika Kakakku mengganggu acara menonton TV
ku.
Aku menggulingkan tubuh ke kanan, lalu meraih ponsel
ku yang tergeletak di samping Mama yang tengah asyik menonton acara TV
favoritnya.
Tidak ada pesan.
Beberapa hari ini aku selalu menunggu pesan dari
Dandi, aku tidak tahu mengapa aku berharap sekali mendapat pesan darinya. Entah
itu pesan selamat pagi, selamat malam, atau apapun. Aku menunggu pesan darinya.
Saat aku menceritakannya pada Salsa, cewek itu langsung tertawa seperti
kesetanan. Ia bilang aku menyukainya. Hah, yang benar saja.
Aku menyukainya?
Tidak mungkin.
Tapi aku selalu memikirkannya.
Tidak.
Aku menyukainya?
Mungkin saja…….
Ya, mungkin saja aku memang menyukainya. Bagaimana
tidak? Dia adalah cowok termanis yang pernah kukenal, dia benar-benar tahu
bagaimana memperlakukan cewek keras kepala sepertiku. Dia bisa memberiku
perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku merasakan ponselku bergetar di tanganku, aku buru
buru mengangkatya setelah tahu siapa si penelfon.
“Halo?”
“Hai, ngg Sar” kata Dandi
di seberang telfon. Oh, astaga. Dia mempunyai suara yang amat seksi.
“Hai”
“Lagi ngapain?”
“Gak lagi ngapa-ngapain”
“Oh,”
“Iya”
“Sar,”
“Apa?”
“Mau jalan sama gue kagak?”
Kalau saja Dandi melihatku sekarang, kupastikan ia
akan menghapus nomor ku dari ponselnya dan tidak akan pernah menemuiku lagi. Saking
memalukannya diriku sekarang ini, menggigiti bantal keras-keras karena tidak
tahan dengan suara Dandi yang terdengar seksi dan ajakannya tadi.
“Sar?” kata Dandi saat
menyadari aku tak menjawab ajakannya.
“Eh, ya?”
“Oke, nanti gue jemput ya jam empat”
“Hah?”
Tut tut tut
Dandi memutuskan sambungan telfonnya. Aku belum
sempat mengiyakan tadi, sepertinya Dandi salah tangkap. Tapi itu tidak masalah,
karena aku sekarang akan senang hati pergi bersamanya.
***
Dandi mengenakan kaos putih dilapisi sweater kuning
yang terlihat norak namun keren menurutku. Cara ia tersenyum saat bertemu
denganku sungguh membuatku makin tergila-gila padanya, lengkungan di bibirnya
terlihat sempurna, dan kumis tipisnya sungguh menggoda. Aku hampir lupa cara
berjalan saat ia menghampiriku dan memberiku gantungan kunci kayu berbentuk
perempuan yang tengah menggenggam balon berbentuk hati.Aku terharu, walaupun
seharusnya aku tidak.
“Erm, makasih” kataku canggung.
Dandi hanya mengangguk sambil tersenyum. “Iya,”
Dandi menaiki motornya diikuti aku yang gemetar saat
berusaha duduk di jok belakang, aku harus tenang. Tapi aku tidak bisa. Aku
tidak bisa. Wangi parfum Dandi bisa aku cium saking dekatnya jarak diantara
kami, aku sangat suka wanginya. Segar dan manis, tidak terlalu menyengat.
Tambahan satu poin untuknya.
Aku baru percaya sekarang bahwa yang namanya jatuh
cinta itu indah, selama ini aku hanya bisa mendengar pernyataan itu. Tapi kini
aku merasakannya, bahkan jatuh cinta lebih indah daripada yang kubayangkan.
Dandi membawaku ke sebuah rumah,lagi. Namun ini bukan
rumah Andre, aku tidak tahu ini rumah siapa namun feelingku mengatakan kalau
ini rumah Dandi. Aku turun dari motor setelah Dandi mematikan mesin, ia lalu
meraih pundakku untuk dirangkul. Harus kuakui, dia tahu betul bagaimana
memperlakukan seorang gadis.
Rumah Dandi—aku sangat yakin karena Dandi baru saja
melempar kunci motornya ke dalam vas bunga keramik diatas meja ruang tamu—terlihat
sangat nyaman untuk ditinggali, saat memasuki rumahnya aku mencium wangi bunga
lavender yang sepertinya berasal dari pengharum ruangan yang tak kutahui
letaknya dimana.
“Yuk, di kamar gue aja ya” kata Dandi saat ia membuka
pintu cokelat kemerahan yang ditempeli poster band Linkin Park.
“Kenapa kita kerumah lo?”
Dandi melepas sweaternya lalu menggantungnnnya ke
pengait di pintu. Ia lalu berbalik menatapku, “Gue gak tau harus bawa lo
kemana” Dandi menunjuk ranjangnya, menyuruhku untuk duduk disana.” Jadi,
mendingan kesini. Mumpung gaada siapa-siapa”
Aku membulatkan mataku, merasa ada yang aneh dari
nada bicara Dandi tadi saat bilang ‘Mumpung gaada siapa-siapa’. Aku mendengar
ke-ambgiuan dari nadanya, atau itu hanya perasaanku saja karena sekarang ini
kami hanya berdua dalam satu rumah—satu kamar. Oh, pikiran kotorku tidak boleh
muncul disaat seperti ini.
Dandi duduk di bibir ranjang, melihatku masih berdiri
disini ia lalu menepuk sisi kanannya. Memberiku kode untuk duduk disebelahnya.
Aku merasakan darahku mengalir dengan cepat. Tidak, tidak akan terjadi apa-apa.
Tenang. Akhirnya, dengan perasaan khawatir dan gugup aku duduk disebelahnya.
“Santai aja, Sar” kata Dandi, ada seukir senyum dari
wajahnya yang manis itu. Ia sepertinya tahu kalau aku gugup setengah mati.
Aku mencoba tersenyum.” Hm”
“Jadi, kita mau ngapain?” aku memberanikan bertanya,
siapa tahu dengan banyak bertanya gugupku akan menghilang.
“Main PS, gimana?” Dandi tersenyum riang, seperti
anak kecil yang baru mendapatkan mainan yang di idamkan.
Dandi lalu memutar tubuhnya, menyalakan TV berukuran
besar dan Playstationnya. Ia lalu mengambil stick PS-nya dan memberiku satu.
“Mau main apa?” kata Dandi sambil membuka tempat
kaset yang berisi puluhan kaset PS. Aku bisa memaklumi saat melihatnya, karena
kakakku juga seorang gamer. Bahkan koleksi kasetnya lebih banyak daripada punya
Dandi.
“Harvest moon atau The Sims?” kataku semangat, namun
melihat ekspresi Dandi yang bosan aku mengurungkan niatku untuk berkebun di
Harvest Moon atau mencari pacar di The Sims.
“Gak seru, Sar”
“Yaudah, GTA aja deh”
“Bosen”
“Final Fantasy?”
“Gak seru”
“Terus maunya apa dong?”
“Bully”
“Ih gamau gue” Aku langsung menolak keras dengan
tawaran permainan itu, aku tahu itu adalah permainan kekerasan dan menampilkan
gambar yang tidak seharusnya aku lihat. Aku pasti akan sangat merasa canggung
nanti saat main.
“Yaudah, shadow of the colossus aja gimana?” Dandi
mengambil salah satu kaset, lalu menunjukkannya kepadaku. Aku belum pernah memainkan
itu sebelumnya, tapi aku terlalu lelah berdebat dengannya jadi aku hanya
menganggukkan kepala pasrah.
Saat Dandi mulai mengatur permainan, aku berpikir
bahwa yang kami lakukan sekarang seperti kencan. Banyak artikel tentang remaja
bilang bahwa bermain video game dirumah adalah kencan yang romantis namun
sederhana. Aku setuju.
Di permainan Shadow of colossus ini pemain mengambil peran seorang pria muda yang mencari
kebenaran dari kisah kuno kekuatan tersembunyi di dalam tanah mistis. Shadow of
Colossus adalah perjalanan megah melalui tanah kuno untuk mencari dan
menghancurkan binatang mitos raksasa. Dengan kuda terpercaya di sisi, pemain
mengeksplorasi tanah luas dan menggali setiap makhluk Colossus menjulang. Tugas
resah mengalahkan Colossus yang bergantung pada pemecahan teka-teki cerdas dan
gameplay berorientasi aksi. Berbekal kecerdasan yang kuat, pedang mistik dan
busur kokoh, pemain menggunakan kecerdikan dan strategi untuk menggulingkan
raksasa masing-masing.
Aku mendesah pelan, merasa
frustasi dengan permainan konyol ini. Aku tidak mengerti sepenuhnya tentang
permainan mengalahkan monster-monster besar sambil menunggangi kuda. Aku cukup
jago dalam bermain video game, tapi mengapa permainan satu ini terasa sangat
sulit untukku. Biasanya aku hanya perlu waktu setengah jam untuk mengerti
sebuah permainan, tapi kali ini sudah hampir dua jam lebih aku bermain bersama
Dandi tapi masih belum bisa mengalahkan sang monster.
Dandi melirikku saat aku
membanting pelan stick PS-nya ke ranjang, ia lalu menyudahi permainan itu dan
mematikan TV. Aku merebahkan tubuh dan memejamkan mata sebentar, duduk didepan
TV untuk mengalahkan monster selama dua jam cukup melelahkan. Aku membuka mataku
lalu terbelalak saat melihat Dandi yang berada tepat diatasku. Dia tersenyum
simpul, aku melayangkan tamparan kecil di pipi kirinya lalu bangun.
“Jangan macem-macem deh”
kataku sambil duduk menyilang. Dandi hanya tertawa lalu mengubah posisi duduknya
jadi menghadapku.
“Lo jangan mikir yang
kagak kagak makanya” Ia menatapku menggoda, aku mengambil bantal lalu
menimpuknya dengan keras. Ia meringis tapi kemudian membalasku.
Kami perang bantal, cukup
menyenangkan. Saat aku lengah, Dandi memukulku dengan guling hingga aku jatuh
terlentang di ranjang. Bukannya membalas, aku malah tertawa keras.
“Kenapa ketawa coba?” Dandi menyandarkan punggungnya
di kepala ranjang.
Aku menggeleng pelan. “Gapapa”
“Sar, sini. Majuan” kata Dandi sambil mengulurkan
tangannya. Aku memajukan posisi dudukku lalu menatapnya datar.
Dandi tiba-tiba memajukan kepalanya. Jarak wajahnya
denganku sangat dekat sampai aku bisa melihat bola matanya yang hitam kecokelatan,
tapi ia memiringkan kepalanya dan meletakkan dagunya di pundakku.Tepat di
telingaku ia berkata lirih “Kalo gue suka sama lu, gimana?” Aku merasakan
jantungku jatuh ke perut, darahku terpompa dengan sangat cepat. Aku bisa
merasakan hembusan nafas Dandi di leherku. Ia tidak bergeming, masih di posisi
tadi.
“Erng, Dan?” kataku gugup.
“Hm?”
“Jangan kayak gini, gue gak-----“
Dandi malah melingkarkan kedua tangannya ke
punggungku, lalu mendekapku erat. Aku bisa meraskan jantungnya yang berdegup
kencang. Dandi sepertinya mencium bahuku, sedikit geli karena kumis tipisnya
menempel dibahuku. Sungguh, aku bisa mati kalau begini.
Aku tidak bergeming, tidak tahu apa yang harus
kulakukan. Membalas pelukannya? Tidak, tanganku terlalu gemetar hanya untuk
melingkar di punggung Dandi. Dia bilang, dia menyukaiku? Astaga, aku rasanya
ingin terbang dengan roket sekarang juga.
“Sar?” bisik Dandi. Hembusan nafasnya terasa sangat
hangat, astaga. Bunuh aku, kumohon.
“Y-ya?”
“Mau gak jadi pacar gue?”
Rasanya aku ingin sekali memukul kepalaku keras-keras
dengan pentungan baseball. Rasa ini sungguh tidak bisa kujelaskan, terlalu
indah. Ini semua diluar dugaanku, aku rasanya tidak tahu lagi caranya bernafas.
“Lo serius?” kataku meyakinkan. Walaupun sebenarnya
aku sangat yakin dengan apa yang baru saja ia katakana, ini hanya modusku agar
ia menjelaskannya sekali lagi.
Dandi melepaskan pelukannya lalu menatapku dalam, ia memiringkan
kepalanya. Aku bisa merasakan bahwa ia menyeringai sekarang, jangan bilang ia
akan menciumku tepat di bibir? Tidak!
Aku menutup mataku, tidak berani melihat apa yang
akan terjadi. Nafasku tercekat saat aku merasakan hembusan nafas Dandi di
bibir. Tapi ada sesuatu yang menggelitik tepat di sudut bibir ku, itu kumis
Dandi. Dia mencium sudut bibirku, astaga. Syukurlah, karena aku belum siap
untuk mendapatkan first kiss ku sekarang.
“Be mine, please?” kata Dandi sambil mengusap kedua
bahuku. Aku tahu, ini adalah strateginya agar aku menjawab ‘iya’. Rupanya dia
mengandalkan sentuhan dan perlakuan lembut untuk mendapatkan pacar. Oh, tapi
sekarang ia milikku.
“I would love to” kataku tegas, lalu kami berdua
tersenyum.
***
Aku bangun pukul 07.00 pagi, kalau bukan karena
omelan Mama tadi mungkin pukul 11.00 siang aku baru akan bangun. Aku masih
ingin melanjutkan mimpi indahku sebenarnya, memanjat tebing bersama Justin. Itu
sedikit mengerikan karena di mimpi aku berada di ketinggian yang mencapai 500 meter.
Tapi karena ada Justin di sampingku, itu terasa sangat sangat sangat indah.
Oh,Justin. Berhentilah menjadi pria tertampan di muka bumi ini.
Aku mengambil handuk dan hendak langsung ke kamar
mandi, tapi bunyi ponselku menjadi penghalang. Dengan cepat aku meraih ponselku
yang terletak di kasur, dan mengernyit saat membaca pesan dari nomor yang tidak
dikenal.
From : +6285649572882
Keluar sekarang, gue ada didepan rumah lo
Mungkin itu Dandi? Mungkin saja ia ingin memberiku
kejutan, kau tahu ia adalah pria termanis yang pernah ada selain Justin Bieber.
Aku membayangkan ia memegang setangkai mawar putih sambil tesenyum manis
kepadaku, aku langsung melempar handuk dan bergegas keluar rumah. Tapi aku
malah melihat seorang cowok yang memakai kemeja merah sedang berdiri
memunggungiku, itu bukan Dandi. Saat ia berbalik, aku masih berusaha mengingat
wajahnya yang sepertinya baru kutemui beberapa hari,minggu, atau bulan yang
lalu. Andre.
“Sarah” Andre menyapa dengan suara yang berat. Ia
menyeringai, dan itu membuatnya terlihat seperti penjahat yang ingin menculik
balita malang.
“Eh? Ada apa?”
“Gue pengen ngomong” Dia melipat tangannya didada,
lalu menatapku dengan penuh arti. Tapi aku tidak yakin kalo arti tatapan itu
positif.
“Oh, mau masuk?” Sebenarnya aku enggan untuk
mempersilahkan cowok asing masuk kedalam rumahku, tapi aku juga tidak ingin
dibilang tidak sopan karena tidak mempersilahkan tamu masuk.
“Gausah, disini aja” Dia tersenyum sok manis, ew.
Entah mengapa aku jadi makin tidak menyukainya sekarang. Dia pembuat masalah di
sekolah, dan aku tidak menyukai cowok-cowok pembuat masalah.
“Oh yaudah, ngomong cepet” kataku tak sabaran.
Terlalu banyak basa-basi, aku malas berlama-lama dengannya.
“Lo baru jadian sama Dandi ya?”
Bagaimana ia tahu? Apa Dandi memberi tahu kesemua
temannya? Secepat itukah?
Aku mengangguk pelan. Andre tertawa, kesannya seperti
mengejek menurutku. Atau memang benar mengejek, aku menaikkan alisku lalu
menatapnya tajam.
“Mau aja lo dibegoin sama Dandi, lo tuh cuma dimainin
sama dia” kata Andre yang langsung membuat jantungku berdegup kencang. Tidak,
itu pasti tidak benar.
“Gue gak percaya sama lo” kataku dengan suara
tertahan. Tidak, aku tidak boleh menangis. Yang dikatakan Andre pasti hanyalah
lelucon.
“Terserah lo mau percaya atau enggak, yang penting
gue udah baik hati mau kasih tau elo! Dandi itu cuma mau mainin lo, dia itu
cowok yang punya banyak cewek” Andre mengadahkan kepala, lalu tertawa. Aku
ingin sekali menonjoknya sekarang juga, sangat ingin.
“Ceweknya bukan cuma lo doang. Lo dibohongin! Percaya
sama gue, Sar. Dia brengsek”
Seharusnya aku marah saat dia bilang kalau Dandi
brengsek, seharusnya aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Andre,
seharusnya aku menamparnya keras-keras karena sudah menjelekkan Dandi
didepanku.
Tapi aku malah percaya, aku percaya kalau Dandi
benar-benar mempermainkan aku. Aku percaya, dan itu menyakitkan.
***
Aku kerumah Salsa dengan keadaan mata bengkak karena
menangis semalaman, Mama sampai khawatir denganku. Ia tidak mengerti kenapa aku
menangis menjerit-jerit seperti orang kesetanan, tapi aku tidak mungkin bilang bahwa aku putus cinta.
Salsa langsung memelukku saat aku masuk ke kamarnya
setelah dipersilahkan oleh Mama Salsa. Aku menahan tangisku agar tidak keluar
lagi seperti semalam, aku takut jika nanti Mama Salsa mendatangkan seorang ustadz
untuk merukiyahku karena aku dikira kemasukan jin.
“Maaf ya, Sar. Gara-gara gue lo jadi gini, gue gak
tau kalo dia kayak gitu” kata Salsa dengan nada penyesalan, persis saat waktu
ia meminta maaf pada Nopi karena telah mendorong Nopi ke Abrar sampai keduanya
jatuh tersungkur tepat ditengah lapangan.
Aku mendesah, “Gapapa, gua juga yang salah karna
terlalu buru-buru. Harusnya gue cari tau siapa dia sebenernya”
Salsa menghembuskan nafas perlahan, lalu menatapku
dengan tatapan bersalah. Bagaimanapun juga karena dia aku jadi begini.Saat
semalam aku menelfonnya sambil menangis, dan menceritakan semuanya, ia tidak
berhenti meminta maaf sampai aku memutuskan sambungan telfon/Tapi aku tidak
ingin menyalahkannya, dia pasti bermaksud baik dan juga tidak tahu kalau akan
begini. Aku mengerti.
Aku merebahkan diri di kasur Salsa sambil menatap
posrer Justin yang tertempel tepat di depan kasur. Oh, Justin. Kau terlalu
sempurna untuk disebut manusia. Hanya dengan menatap poster , foto-foto ,
mendengarkan lagu, menonton video Justin bisa membuat moodku membaik.
Tiba-tiba muncu sesosok Nopi di depan kamar Salsa, ia
terlihat bingung dan kaget. Nopi lalu buru-buru menghapiriku dan Salsa.
Napasnya memburu, Salsa lalu menyuruhnya untuk menenangkan diri lalu cerita apa
yang terjadi.
“Dandi, Sar” kata Nopi tidak jelas. Dandi? Apa Nopi
ingin mengejekku karena aku sedang patah hati karena Dandi.
“Lo mau ngejek gue?” kataku sebal.
“Dandi, ada diluar. Dia pengen ngomong sama lo
katanya” Nopi menunjuk kearah kearah luar yang tetrutupi tembok.
“Hah? Bohong lo ya?”
“Suer, gue kagak boong! Tadi pas gue mau masuk
kerumah Salsa, si Dandi kayaknya lewat terus liat gue. Dia nanya lo ada dimana,
ya gue kasih tau aja lo disini” ujar Nopi dengan tampang tanpa dosa.
Aku menghela napas karena tindakan bodoh Nopi. Ia kan
tahu kalau aku baru saja terkena musibah karena Dandi, sekarang ia malah
mempertemukanku dengan cowok terkutuk itu. Sialan. Tapi, baiklah aku akan
menghampiri Dandi karena aku bukanlah gadis pengecut yang takut dengan cowok cemen
seperti Dandi.
Aku keluar dan melihat Dandi turun dari motornya. Ia
menatapku dengan sayu, bagian rahangnya memar. Pipi kirinya juga biru, aku
ingat waktu itu aku pernah menamparnya dibagian itu. Tapi kenapa efeknya baru
telrihat sekarang? Dan seingatku itu hanyalah tamparan kecil yang tidak mungkin
menimbulkan bekas memar seperti itu.
“Kenapa?” kataku ketus sambil menatapnya tajam.
“Kamu percaya sama Andre?” katanya dengan lembut, ew.
Aku sudah muak dengan perkataan lembutnya, bullshit.
“Iya”
“Kamu lebih percaya sama Andre daripada aku?” Dandi
mendekatiku, tapi aku melangkah mundur. Aku benar-benar tidak ingin berada di
dekatnya.
“Iya” Aku memasang wajah bosan, memang benar bosan
karena sikap sok manisnya kepadaku. Sungguh, itu sudah tidak mempan untukku.
Dandi menunduk, lalu menghembuskan nafas perlahan. Ia
menatapku “Aku mohon, percaya sama aku—“
“Percaya apa? Hah? Lo ngebohongin gue! Lo pikir gue
apa?! Brengsek tau gak lo, Dan! Muak gue sama lo!” ucapku berapi-api, aku sudah
tidak bisa menahan emosi.
“Sar, aku mohon percaya sama aku. Dia itu bohong, dia
cuma iri sama aku Sar” Dandi menjulurkan tangannya tapi aku menepisnya kasar.
“Iri? Iri karna lo punya banyak cewe? Hah, Gue udah
muak sama lo plis. Jadi, mending lo pergi sana!” kataku lalu membalikkan ubuh
untuk masuk kerumah Salsa tapi aku merasakan Dandi mendekat lalu memeluk
tubuhku dari belakang.
“Aku mohon, dengerin dulu plis” Dandi mempererat
pelukannya, aku berusaha melepaskan cengkramannya didadaku tapi dia seorang
cowok yang mempunyai tenaga lebih.
“LEPASIN! GUE JIJIK SAMA LO!” teriaku, lalu kurasakan
mataku memanas. Tidak, jangan menangis disini Sarah, jangan.
“Sarah, kamu jangan percaya sama Andre. Dia itu
bohongin kamu karna dia dendam sama aku, dia waktu itu suka sama Lulu, mantan
aku. Pas aku putus sama Lulu, dia nembak Lulu tapi ditolak”
Aku tahu, memar bekas pukulan itu pasti ulah Andre.Dandi
meletakkan dagunya dibahuku, persis seperti waktu itu. Aku merasakan hatiku
seperti terpotong kecil-kecil sekarang.Ini sama menyakitkannya dengan melihat
Justin dating dengan Selena.
“Waktu itu aku bawa kamu ke rumah Andre biar dia tau
kalo aku udah punya pacar baru, dan gamungkin masih kontakan sama Lulu. Tapi
ternyata dia ditolak, dan dendam banget sama aku”
Dia hanya memanfaatkanku dengan menjadikanku pacar
palsu agar Andre tidak dendam dengannya, oh. Licik.
“Aku waktu itu emang manfaatin kamu, tapi gatau
kenapa aku jadi beneran suka sama kamu Sar. Serius,percaya sama aku. Aku minta
maaf udah bohongin kamu waktu itu.Aku—“
“Lo jahat, serius” Aku menangis, malu sekali rasanya
menangis didepan cowok yang telah membohongi kita.
“Maafin aku, Sar. Maaf”
“Lo jahat, Dan”
“Sarah, aku sayang sama kamu. Tolong, percaya sama
aku. Maafin aku”
“Gue gak—“
“Kamu harusnya lebih percaya sama aku, pacar kamu.
Daripada Andre, orang asing”
Aku seperti dipukul dengan palu berkali-kali, kalimat
yang baru diucapkan Dandi kenapa sangat menyentuh hatiku? Aku harusnya lebih
percaya Dandi daripada Andre. Tiba-tiba, aku merasa sangat-sangat bodoh. Dandi
benar, seharusnya aku lebih percaya padanya. Aku melepaskan pelukan Dandi yang
merenggang, lalu berbalik menatapnya. Kelopak matanya basah, apakah ia habis
menangis?
“Percaya sama aku, aku gak bermaksud bohongin kamu.
Aku sayang sama kamu, aku—“
Aku memeluk Dandi, ia lalu membalas pelukanku. Aku
menenggelamkan wajahku didadanya, lalu menghirup aroma tubuhnya kuat-kuat.
“Aku percaya, Dan”
Dandi pasti tersenyum, aku tahu itu walaupun aku
tidak melihatnya karena sekarang aku juga tersenyum.
0 comments:
Post a Comment