My Blog List

Monday, July 21, 2014

Please, Believe In Me [A little bit long Story]

Posted by Salsa at 10:11 PM
This story is dedicated for Sarah(my babygal) and his lovely crush, happy reading. Sorry for the typo(s) and the imprefections, because i'm not perfect author. Thankyou<3 
Warning : I know this story is sucks, but you're not allowed to copy it without my permission, thankyou,mwa.






Berangkat ke sekolah disaat liburan sehabis Ujian Nasional adalah hal yang paling menyebalkan selama menjadi seorang pelajar. Ain’t nobody got time for that! Tidak, aku tidak ingin berangkat ke sekolah. Tidak sama sekali. Aku sedang bahagia – bahagianya menikmati liburan panjangku dengan malas malasan dirumah, dan sekarang aku mendapat kabar bahwa murid kelas 12 diwajibkan masuk ke sekolah hari ini?! Apalagi hanya untuk pengumuman tidak penting yang bisa ditanyakan oleh wali kelas.
To : Nopi Siwonest
“Gue gak mau masuk hari ini, males”
Aku membalas pesan singkat dari Nopi dengan gemas. Aku bingung kenapa anak itu rela saja masuk sekolah hanya ingin bertemu dengan sang pujaan hati, Abrar. Oh, sungguh. Dia harus membuka matanya lebar lebar.Abrar adalah laki-laki ter-songong yang pernah kutahu.
Tak lama terdengar seseorang meneriaki namaku dari luar rumah. Tanpa melihat siapa orangnya pun aku sudah tahu, pasti Salsa. Entah setan apa yang merasuki dirinya itu sehingga dia niat sekali masuk sekolah hari ini. Ada apa dengan semua orang? Oh, guys! C’mon! Don’t you enjoying our fucking long holiday?
“Sa, lu mau masuk?” tanyaku saat menemui Salsa yang terlihat cukup rapih dengan seragam tanpa menggembol tas sekolahnya. Salsa hanya tersenyum lebar lalu mengangguk semangat. Aku merasakan hatiku sesak saat menyadari tidak ada yang mengikuti jejakku untuk bolos ‘sekolah’ hari ini.
“Lu belum mandi, Sar?” tanya Salsa seraya memperhatikanku yang masih mengenakan baju tidur. Aku menggeleng. Salsa mendesah pelan sambil memutar bola matanya kesal.
“Yaudah sana mandi”
“Tunggu didalem”
“Gausah, udah sana! Mandinya cepetan ya, kalo perlu gausah sabunan sama sikat gigi” kata Salsa. Ia terlihat sebal karena aku yang ingin ia ajak berangkat bersama ternyata belum bersiap siap, kentara sekali dari wajahnya yang kini menekuk. Lagipula aku memang tidak niat.
Akhirnya aku mengalah lalu masuk kedalam sementara Salsa dengan perasaan jengkel menunggu diluar dengan sabarnya. Mandi kilat adalah jalan satu satunya agar Salsa tidak menerkamku daripada aku menemuinya satu jam lagi hanya karena durasi mandiku yang mengalahkan durasi konser metal.

***
Aku dan Salsa memasuki lapangan sekolah—Aula sedang direnovasi, jadi murid-murid dipindahkan disini—yang kini sudah dipenuhi oleh murid murid kelas 12 yang tengah mengira mengira pengumuman apa yang akan disampaikan. Mataku kini mencari cari batang hidung Nopi, dia pasti sudah datang lebih awal dengan satu alasan : Ingin bertemu dengan pujaan hati.
“Sar, tuh Nopi tuh” Salsa menyikutku lalu menunjuk-nunjuk kerumunan. Katanya ada Nopi, dimana? Aku tidak melihatnya.
“Mana sih?”
“Ih, masak gak keliatan sih Sar” ujar Salsa jengkel. Ia lalu menarik tanganku menembus kerumunan hanya untuk berjumpa dengan Nopi. Oh, so sweet bukan? Kalau Nopi tahu mungkin dia akan sangat terharu dan bahkan mungkin pingsan jika Abrar yang melakukan pengorbanan itu. Oh, maaf. Itu terlalu hiperbola.
“NOPIIIIIIIII” teriak Salsa saat jarak kami tinggal beberapa meter lagi dari Nopi yang sedang anteng memperhatikan apa saja yang yang di ucapkan oleh guru. Tapi sepertinya teriakan Salsa cukup mengambil perhatian beberapa murid dan bahkan mungkin guru yang sedang berbicara di depan.
“Siapa tadi yang teriak? Ayo maju kedepan” kata Pak Beo lewat mikrofon. Oh, shit. Sekarang beberapa mata yang mengetahui teriakan itu berasal dari Salsa memperhatikan aku dan Salsa intens. Salsa menempelkan telunjuknya di bibir, berharap cewek-cewek itu mau tutup mulut.
Teriakan Salsa memang seperti lolongan yang mampu membangunkan mumi-mumi di mesir saking spektakulernya. Wajah Salsa memucat, ia pasti takut sekali. Jika ia maju kedepan kemungkinannya ada dua : Dipermalukan di depan beratus ratus pasang mata dengan cara menyuruhnya jalan jongkok memutari lapangan atau di omeli dengan kejamnya setelah pengumuman di sampaikan.
“Ayo cepat maju kedepan atau bapak yang seret kedepan” terdengar teriakan Pak Beo dari mikrofon lagi. Mungkin sekarang diatas kepala Pak Beo sudah ada tanda seru merah menandakan kalau pria tua itu benar benar marah.
Aku tidak akan rela kalau Salsa dipermalukan didepan semua orang, bagaimanapun juga dia teman sehidup semati. Aku lalu menyeret Salsa ke barisan anak laki-laki. Kalau kami sembunyi di belakang kerumumunan laki-laki yang berutubuh tinggi pasti tidak akan kelihatan. Akhirnya kami bernafas lega saat Pak Beo kembali melanjutkan pengumumannya yang sempat terhenti tadi.
“Aww” aku meringis saat sepasang kaki yang membelakangiku menendang kepalaku. Sang pemilik kaki berbalik badan lalu memandang ku dan Salsa heran.
“Lu gapapa, Sar?” tanya Salsa saat melihatku masih meringis sambil mengusap kepala.
“Eh, lo ngapain disini?” tanya laki-laki itu sambil menatapku sinis. Aku menarik nafas gusar.
“Suka-suka gue dong. Eh tapi, tadi lo nendang kepala gue!”
“Lah, lagian lo ngapain jongkok dibelakang gue?”
“Eh songong lo tau gak?! Sakit nih kepala gue!” omelku tak terima. Enak saja, memangnya kepalaku ini bola?
“Gue gak sengaja, bawel amat sih lo! Yaudah gue minta maaf” katanya sambil mengulurkan tangan tak ikhlas. Aku membalasnya sama tak ikhlasnya. Dan dengan gerakan cepat aku menarik tangan Salsa untuk ke kantin meninggalkan laki-laki itu yang sepertinya mengumpat didalam hatinya.
.
.
.
Aku masih mengusap usap kepalaku yang masih terasa nyeri akibat ulah laki-laki yang tak ku tahui namanya tadi. Tendangannya cukup keras, aku bersyukur karena aku tidak sampai terkena Amnesia.
“Masih sakit, Sar?” tanya Salsa setelah membayar cappucino cincau yang baru saja ia beli. Aku mengangguk kecil sambil memasang wajah melas agar Salsa iba dan ingin membantuku untuk balas dendam kepada laki-laki sialan itu.
“Lu kenal gak si sama cowok tadi?” tanyaku lalu duduk di bangku kantin yang diikuti Salsa.
“Ya kenal lah, dia kan anak kelas 12D IPA” jawab Salsa dengan tatapan ‘Emangnya lo gak tau?’ Aku mendesah pelan.
“Iya tau dia kelas sebalah, tapi gak tau namanya”
“Yaampun Sarah! Lo gak tau dia siapa?” Salsa mulai histeris, dia menaruh cappuccino cincau nya di meja kantin lalu menatapku heran seperti aku adalah spesies langka. Aku memutar bola mataku kesal. Memangnya kenapa kalau aku tidak tahu dia?
“Emang gatau, terus kenapa?”
“Dia itu Dandi, mantannya Lulu anak 12A IPA itu lohh. Lo kemana aja deh, Sar? Masak gak tau Dandi?”
Aku mengangguk angguk sok mengerti. Dandi? Namanya memang sering kudengar, tapi tidak tahu kalau sang pemilik nama itu adalah laki-laki yang menendang kepalaku.
“Gue masih gak terima tadi dia nendang kepala gue” protesku.
“Yaelah, Sar. Dia gak sengaja kali, lagi siapa suruh lu jongkok di belakang dia?”
“Ih, kok lu belain dia sih? Bantuin bales dendam dong”
Salsa mendengus lalu membuang gelas plastik yang kosong ke tempat sampah ,ia menatapku datar. “Gue gak mau”
“Kenapa gak mau?” teriakku kepadanya.
“Dia lumayan, sayang kalo dikerjain. Mending lo gebetin aja deh, kalo gak salah dia juga lagi jomblo tuh” ujar Salsa lalu tersenyum.
Hell.No.

***
Kurasa Salsa sudah tidak waras lagi. Sungguh, aku akan menghapus file di komputernya yang berisi foto,lagu,dan video Justin Bieber jika dia benar benar menjalankan rencana gilanya. Ia ingin menjadi mak comblang untukku dan Dandi, cowok gila yang tempo hari menendang kepalaku.
“Gue gak mau, Saa”
Salsa mendecak sebal, ia lalu bertolak pinggang. “Lo harus mau, Sar! Lo tuh cocok banget sama Dandi” kata Salsa sambil mengerjapkan matanya berkali kali, persis seperti saat ia melihat cowok ganteng.
“Plis deh, ya. Cowok ganteng gak cuma dia!” jawabku sebal lalu melipat tanganku di dada.
“Tapi lo cocok banget sama dia, Sar”
“Bodo amat, lagipula gue kan gak kenal sama dia”
“Makanya kenalan, entar sore dia jemput lo. Dandan yang cantik ya” kata Salsa menggoda lalu mengambil roti bakar yang tadi Mama siapkan dan pergi meninggalkan aku yang bengong.
Oh,Shit.

.
.
.
Bunyi klakson motor didepan rumah sungguh menggangguku yang tengah asyik menonton Drama Korea favoritku. Sial, siapa orang gila yang memainkan klakosnnya manghrib-maghrib begini?
“Rah, coba kamu liat didepan. Siapa yang mainin klakson. Ganggu aja” kata Mama dengan raut wajah kesal, Mama sepertinya juga terganggu. Aku langsung keluar dengan pakain rumah—celana trainee dan kaos tipis hitam. Aku melihat seorag cowok yang membawa motor tepat di depan rumahku.Aku mengernyit, siapa? Tukang kerupuk yang menagih uang? Kok ganteng sih..
“Siapa ya?” tanyaku setelah membuka gerbang dan berdiri tepat didepan motornya.
Cowok itu memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia lalu tersenyum simpul. Walaupun gelap, aku masih bisa menyimpulkan bahwa dia benar-benar seorang cogan.Dia lalu berdehem, seperti menyiapkan kata kata untuk dilontarkan.
“Gue Dandi”
What?! Dandi? Untuk apa dia kesini? Jadi, ucapan Salsa tadi siang itu sungguhan? Bagaimana bisa dia mengetahui rumahku? Sial.
“Ngapain kesini?”
“Lah, lo kan yang minta gue kesini?” Dandi terlihat heran, ia lalu turun dari motornya dan mendekatiku. Aku bisa mencium aroma tubuhnya. Wangi.
Aku terdiam, berpikir. Ini pasti ulah Salsa sialan itu. Aku mengumpat dalam hati, Salsa memang benar benar ingin dibuang ke lubang yang di penuhi buaya.
“Aduh sorry, itu kayaknya kerjaan Salsa deh. Bukan gue. Sorry ya, kalo gak lo kerumah Salsa aja deh” kataku memelas. Bagaimanpun juga aku tidak mau jalan dengannya, aku bahkan tidak mengenalnya. Kalau dia ingin macam-macam bagaimana?
Dandi mendesah pelan. “Gak mau, gue udah cape cape dateng kesini dan sekarang lo ngusir gue? Gue gak perduli siapa yang ngajakin, yang penting gue ada temen buat jalan malem ini”
“Tapi gue—“
“Gak ada tapi-tapian, sekarang ikut gue” Dandi menarikku untuk naik ke motornya. Aku menahan kakiku agar tidak terseret sekuat tenaga. Mama, tolong. Aku diculik.
“Mamaaaaa, to—“
Dandi mendekap mulutku lalu menggendongku ke motornya, mendudukanku di depan lalu ia duduk dengan santainya di belakangku.
.
.
.
.
“Lo cemburut mulu, ah gak asik lo”
Aku semakin menekuk wajahku, jelas saja aku cemberut. Aku tidak senang di bawa pergi dengan paksa olehnya. Dia itu aneh, berjanji membawaku jalan-jalan, tapi sekarang aku malah di bawa kerumah temannya.
“Gue mau pulang” ucapku tegas. Dandi yang tadinya hendak berjalan ke pintu rumah temannya, sekarang berbalik menatapku. Aku memasang wajah yang paling menyeramkan. Dia mendesah, lalu menghampiriku.
“Tunggu dulu ya, gue ada urusan sama temen gue. Sebentar aja, plis” kata dia lembut, aku tahu itu adalah triknya agar aku membatalkan niatku untuk pulang.
“Gue. Gak. Mau!” kataku keras, ada penekanan disetiap katanya.
Dandi mendesah lagi, ia lalu mendekat lagi hingga kini aku tepat didepan dadanya. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, sial. What’s wrong with me? Dandi memegang kedua bahuku lalu meremasnya, ia menatapku. “Gue mohon, sebentar aja”
Oh, ya tuhan. Apa yang ia lakukan? Kenapa aku jadi panas dingin seperti ini? Aku meneguk ludah, lalu membuang pandanganku jauh-jauh. Tidak sanggup melihat wajahnya sedekat ini. Baik, aku menyerah. “Yaudah, cepetan tapi”
“Iya Sarah” Dandi tersenyum sambil mengacak acak rambutku. Dia lalu mengetuk pintu rumah temannya, dan tak lama keluar seorang cowok yang ku tahu adalah anak kelas 12B IPA. Mereka bernincang bincang sebentar sampai akhirnya Dandi menarikku masuk ke dalam rumah temannya itu. Kalau tidak salah namanya, Andre.Dia pernah terlibat kasus membawa ganja ke sekolah.
“Siapa nih, Dan? Anak kelas 12C IPA ya?” tanya Andre sambil melirik ku.
“Iya, Sarah namanya” jawab Dandi lalu duduk di sebelahku. Aku hanya bisa diam.
“Cewek baru lagi?” Andre tersenyum mengejek.
“Iya” jawab Dandi santai membuatku membulatkan mata lebar lebar. Apa yang dia maskud?
“Eh, gue—“
“Kamu tadi mau makan kan? Yaudah, yuk.” Dandi meraih tanganku lalu menggenggamnya, tubuhku mulai gemetar. Ada apa dengannya?! Ia bahkan tidak berpamitan pada sang penghuni rumah.Dandi menarik tanganku keluar, ia menggenggam tanganku kuat-kuat, telapak tangannya yang hangat sangat ermm nyaman. Eh.
“Maksud lo apaan sih?”
“Udahlah, gausah di bahas” Dandi mengambil helm lalu memakaikannya ke kepalaku yang kini dipenuhi tanda tanya. Aku mendecak pelan lalu menarik nafas dalam-dalam.
“Ayo naik, ngapain malah bengong?” Dandi menyalakan mesin motornya, dan dengan berat hati aku naik ke motornya.

***
“Halo?” Aku menjawab telfon entah dari siapa, mataku masih tertutup rapat. Siapa yang menelfon pagi-pagi seperti ini disaat aku sedang asyiknya berpacaran dengan kasur ku.
“Hai, Sarah” Suara Salsa di seberang sana  langsung membuat mataku terbuka lebar sekarang. Aku akan menghabisinya lewat telfon kali ini.
“Eh kampret lo, maksud lo apaan nyuruh nyuruh Dandi kerumah gue? Hah?! Sialan banget lo! Gue gak terima pokoknya, Saaaaaaaaaaaa” kataku yang diakhiri teriakan panjang yang amat kencang dan mungkin Salsa kini menjauhkan ponsel nya dari telinga.
‘Tut tut tut’
Hell, Salsa memutuskan sambungannya. Terkutuk kau, Salsa. Aku tahu dia memang manusia jail yang tidak tahu akan dosa, tapi setega itukah dia menjaili sahabat sehidup sematinya ini? Setega itukah? Oh, aku kecewa. Sungguh.
From : Salsa Bieber
“Sarah babygirl kuuu, kamu jangan marah ya sayang yahh! Aku kan cuma mau comblangin kalian berdua ajaaaa :D Aku gak tega ngeliat kamu kesepian terus, makanya aku kasih tuh cowok cakep hehe. Gimana datingnya semalem?”
You’re kinda give me shit, Salsa.
Apa maksudnya? Apakah dia berpikir aku kesepian? Oh, sungguh sama sekali tidak. Ya, baik memang aku kesepian. Tapi tidak seperti ini caranya, menyuruh cowok aneh yang menyebalkan menjadi partner ku. Seharusnya, jika dia benar benar ingin mencarikanku pacar, ya setidaknya cari cowok yang seperti Justin atau paling tidak seperti Logan Lerman.
Ponsel ku berdering lagi, seberani itukah Salsa menelfon ku lagi? Apa dia sudah siap menerima cacian pedas yang akan kulontarkan nanti?
“Nagapain lo nelfon gue? Hah? Mau ngejek gue lagi? Atau lo—“
“Eh, Sar” terdengar suara cowok di seberang sana, berarti ini bukan Salsa? Aku melihat layar ponselku, nomer yang tidak di kenal.
“Siapa?” Aku merendahkan suaraku.
“Ngg, gue Dandi”
Aku hampir saja membanting ponselku jika saja tidak mengingat betapa banyak foto-foto Justin di sana. Aku mencoba setenang mungkin, ini mudah. Hey, kenapa aku jadi tegang seperti ini?
“Kenapa?”
“Gue mau minta maaf soal semalem. Gue udah maksa lo buat ikut gue” Suara Dandi terdengar sangat lembut dan tulus, astaga.
“Iya” jawabku seadanya, aku mendengar hembusan nafas Dandi dari seberang sana lewat telfon.
“Maaf ya, kalo lo gak suka jalan sama gue semalem”
“Kita gak jalan, kita kerumah temen lo”
“Iya, sorry Sar. Abis gue bingung mau ngajak lo kemana, lagipula semalem gue juga ada urusan sama Andre. Maaf ya semalem gue ngaku-ngaku jadi pacar lo,gue khilaf haha”
Aku mendengus, dasar aneh.
“Ya”
“Jangan marah dong, Sar. Maaf ya, eh nanti malem mau jalan lagi gak sama gue?”
Deg, what the fuck did he say.
.
.
.
Aku memutuskan untuk kerumah Nopi sendirian, tidak mungkin aku kesana bersama Salsa. Dia sedang manjadi musuh sementara ku. Aku ingin cerita tentang semuanya yang ku alami kepada Nopi, aku tidak tahu harus cerita kepada siapa lagi selain Nopi.
“Nopiiiiiiii” teriakku dari luar rumahnya, tak lama keluar seorang cewek berambut acak-acakan yang hanya menganakan kaos tipis dan celana jin abu-abu, yang tak lain yang tak bukan adalah Nopi.
“Masuk, Sar”
“Nopi belum mandi ya?” tanyaku saat masuk kerumahnya, Nopi mengangguk pelan. Sudah kuduga.
“Gimana dating lu waktu itu sama Dandi?”
“What, lo tau juga?!” Aku mulai histeris, bagaimana Nopi tahu? Salsa, astaga.
“Iya, gimana semalem? “ tanya Nopi lagi sambil mengambil handuk yang digantung di depan pintu kamar mandi lalu mengalungkannya di leher.
“Gimana apanya? Dia itu ngeselin tau gak, masak gue diajakin kerumah Andre anak 9B itu. Terus dia ngaku-ngaku jadi pacar gue. Ew”
Nopi tertawa setelah beberapa saat, ia lalu menatapku sambil tersenyum. “Chukkae, Sarah”
Aku terdiam sebentar, selamat untuk apa? Aku lalu mengikuti Nopi yang menuju ke kamar mandi, “Selamat buat apa Nop?” kataku saat aku berdiri tepat di depan pintu kamar mandi yang baru saja tertutup. “NOPI MAKSUDNYA APAA?!”

***
Hari ini aku pergi ke sekolah hanya untuk menemui Salsa dan Nopi. Bukan rindu yang menjadi alasanku untuk ke sekolah di pagi hari yang malas ini, tapi penjelasan seorang Salsabila yang sangat kubutuhkan.
Aku masuk ke kelas 12A IPS—kelas Salsa—, yakin sekali bahwa mereka sekarang ada disana sambil minum atau makan sesuatu dengan lagu All Too Well dari Taylor Swift menjadi backsoundnya. Salsa menoleh kearahku lalu tersenyum simpul. Entah jenis senyum apa itu.
“Hai babygirl” Salsa menyapa duluan.
“Gausah basa basi deh, Sa” kataku. “Jujur, gue gak ngerti maksud semua kejailan lo ke gue kali ini. Lo nyuruh Dandi buat dateng kerumah gue buat dibawa ke rumah temennya yang gak gue kenal itu. Gini deh, maksud lo apa?”
Salsa terdiam selama beberapa saat sampai akhirnya ia tertawa kecil, dan tawa itu semakin besar seiring tatapan anehku dan Nopi yang kami tujukan untuk Salsa. Ia sudah benar-benar gila.
“Salsa, plis, gue serius” aku mendekati Salsa yang masih tertawa, ia berhenti sebentar lalu tersenyum bodoh. “Trik lo buat ngehindar dari gue kali ini gak berhasil” Aku tersenyum penuh kemenangan sedangkan Salsa memperlebar senyumannya.
“Lo bener-bener mau tau ceritanya?” tanya Salsa sambil sedikit memiringkan kepalanya. “Oke”
“So, tell me now”
“Okay?”
“Okay”
“Okay”
“Salsa, just fucking stop. You’re not an Augustus Waters”
“And you’re not  Hazel Grace”
Aku memutar bola mataku jengah. Anak ini benar benar tahu bagaimana harus menghindari serangan harimau.
“Oke, sekarang kasih tau” kataku.
“Oke, jadi waktu itu gue—“
Seseorang memotong perkataan Salsa dengan menyebut namaku, aku mencari sumber suara dan merasa jengah saat melihat si pemotong percakapan itu.
“Wah, pangeran Sarah dateng” kata Nopi sambil memberiku tatapan mengejek.
Dandi mematung di depan pintu kelas, ia terlihat gugup. Tapi akhirnya ia berkata “Sarah, ngg ikut gue ya? Plis?”
“Gamau”
Dandi menghembuskan nafas nya gusar, ia terdiam sebentar lalu akhirnya meraih telapak tanganku dan menariknya ke ruang lab komputer yang sepi. Aku terpaksa mengikutinya walaupun sebenarnya malu karena menjadi sorotan adik kelas, apalagi sekarang jam istirahat.
“Eh, ngapain sih kesini?” kataku. Tanganku masih menyatu dengannya.
“Gue mau ngomong sama lo,penting.” Kata Dandi tanpa melepas genggaman tangannya yang cukup kuat itu.
“Kenapa harus disini?”
“Gue cuma pengen ngomong sama lo tanpa ada yang nguping”
“Yaudah cepet ngomong, terus bisa gak lo lepasin tangan lo?” kataku sarkastik.Dandi langsung melepaskan genggamannya dan mendadak menjadi gugup.
“Jadi, gue minta maaf lagi sama lo soal waktu itu. Gue bener-bener gak bermaksud ganggu lo, gue butuh banget temen buat jalan waktu itu—“
“Kita gak jalan, kita kerumah—“
“Oke,iya kita kerumah Andre. Gue minta maaf, Sar” Dandi meletakkan kedua telapak tanggannya di bahuku, lalu meremasnya. “Gue mohon”
Sorot mata Dandi membuatku gugup,sial. Bagaimana bisa dia membuatku seperti terbang dengan hanya manatapku seperti itu. Jika aku Olaf, mungkin aku benar-benar meleleh sekarang.
“Iya, iya” kataku. “Lo kenapa sih butuh banget maaf dari gue?”
Dandi tertawa.
“Karna gue gak mau lo ngejauhin gue”

***

“Rah, jangan diganti-ganti terus” kata Mama lalu merebut remote TV dari tanganku.
Aku merebahkan tubuh di kasur tipis yang memang sengaja digelar di depan TV agar acara menonton bersama keluarga lebih menyenangkan. Aku bisa berguling-guling  kapan saja saat merasa kesal jika Kakakku mengganggu acara menonton TV ku.
Aku menggulingkan tubuh ke kanan, lalu meraih ponsel ku yang tergeletak di samping Mama yang tengah asyik menonton acara TV favoritnya.
Tidak ada pesan.
Beberapa hari ini aku selalu menunggu pesan dari Dandi, aku tidak tahu mengapa aku berharap sekali mendapat pesan darinya. Entah itu pesan selamat pagi, selamat malam, atau apapun. Aku menunggu pesan darinya. Saat aku menceritakannya pada Salsa, cewek itu langsung tertawa seperti kesetanan. Ia bilang aku menyukainya. Hah, yang benar saja.
Aku menyukainya?
Tidak mungkin.
Tapi aku selalu memikirkannya.
Tidak.
Aku menyukainya?
Mungkin saja…….
Ya, mungkin saja aku memang menyukainya. Bagaimana tidak? Dia adalah cowok termanis yang pernah kukenal, dia benar-benar tahu bagaimana memperlakukan cewek keras kepala sepertiku. Dia bisa memberiku perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku merasakan ponselku bergetar di tanganku, aku buru buru mengangkatya setelah tahu siapa si penelfon.
“Halo?”
“Hai, ngg Sar” kata Dandi di seberang telfon. Oh, astaga. Dia mempunyai suara yang amat seksi.
“Hai”
“Lagi ngapain?”
“Gak lagi ngapa-ngapain”
“Oh,”
“Iya”
“Sar,”
“Apa?”
Mau jalan sama gue kagak?”
Kalau saja Dandi melihatku sekarang, kupastikan ia akan menghapus nomor ku dari ponselnya dan tidak akan pernah menemuiku lagi. Saking memalukannya diriku sekarang ini, menggigiti bantal keras-keras karena tidak tahan dengan suara Dandi yang terdengar seksi dan ajakannya tadi.
“Sar?” kata Dandi saat menyadari aku tak menjawab ajakannya.
“Eh, ya?”
“Oke, nanti gue jemput ya jam empat”
“Hah?”
Tut tut tut
Dandi memutuskan sambungan telfonnya. Aku belum sempat mengiyakan tadi, sepertinya Dandi salah tangkap. Tapi itu tidak masalah, karena aku sekarang akan senang hati pergi bersamanya.
***


Dandi mengenakan kaos putih dilapisi sweater kuning yang terlihat norak namun keren menurutku. Cara ia tersenyum saat bertemu denganku sungguh membuatku makin tergila-gila padanya, lengkungan di bibirnya terlihat sempurna, dan kumis tipisnya sungguh menggoda. Aku hampir lupa cara berjalan saat ia menghampiriku dan memberiku gantungan kunci kayu berbentuk perempuan yang tengah menggenggam balon berbentuk hati.Aku terharu, walaupun seharusnya aku tidak.
“Erm, makasih” kataku canggung.
Dandi hanya mengangguk sambil tersenyum. “Iya,”
Dandi menaiki motornya diikuti aku yang gemetar saat berusaha duduk di jok belakang, aku harus tenang. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa. Wangi parfum Dandi bisa aku cium saking dekatnya jarak diantara kami, aku sangat suka wanginya. Segar dan manis, tidak terlalu menyengat. Tambahan satu poin untuknya.
Aku baru percaya sekarang bahwa yang namanya jatuh cinta itu indah, selama ini aku hanya bisa mendengar pernyataan itu. Tapi kini aku merasakannya, bahkan jatuh cinta lebih indah daripada yang kubayangkan.
Dandi membawaku ke sebuah rumah,lagi. Namun ini bukan rumah Andre, aku tidak tahu ini rumah siapa namun feelingku mengatakan kalau ini rumah Dandi. Aku turun dari motor setelah Dandi mematikan mesin, ia lalu meraih pundakku untuk dirangkul. Harus kuakui, dia tahu betul bagaimana memperlakukan seorang gadis.
Rumah Dandi—aku sangat yakin karena Dandi baru saja melempar kunci motornya ke dalam vas bunga keramik diatas meja ruang tamu—terlihat sangat nyaman untuk ditinggali, saat memasuki rumahnya aku mencium wangi bunga lavender yang sepertinya berasal dari pengharum ruangan yang tak kutahui letaknya dimana.
“Yuk, di kamar gue aja ya” kata Dandi saat ia membuka pintu cokelat kemerahan yang ditempeli poster band Linkin Park.
“Kenapa kita kerumah lo?”
Dandi melepas sweaternya lalu menggantungnnnya ke pengait di pintu. Ia lalu berbalik menatapku, “Gue gak tau harus bawa lo kemana” Dandi menunjuk ranjangnya, menyuruhku untuk duduk disana.” Jadi, mendingan kesini. Mumpung gaada siapa-siapa”
Aku membulatkan mataku, merasa ada yang aneh dari nada bicara Dandi tadi saat bilang ‘Mumpung gaada siapa-siapa’. Aku mendengar ke-ambgiuan dari nadanya, atau itu hanya perasaanku saja karena sekarang ini kami hanya berdua dalam satu rumah—satu kamar. Oh, pikiran kotorku tidak boleh muncul disaat seperti ini.
Dandi duduk di bibir ranjang, melihatku masih berdiri disini ia lalu menepuk sisi kanannya. Memberiku kode untuk duduk disebelahnya. Aku merasakan darahku mengalir dengan cepat. Tidak, tidak akan terjadi apa-apa. Tenang. Akhirnya, dengan perasaan khawatir dan gugup aku duduk disebelahnya.
“Santai aja, Sar” kata Dandi, ada seukir senyum dari wajahnya yang manis itu. Ia sepertinya tahu kalau aku gugup setengah mati.
Aku mencoba tersenyum.” Hm”
“Jadi, kita mau ngapain?” aku memberanikan bertanya, siapa tahu dengan banyak bertanya gugupku akan menghilang.
“Main PS, gimana?” Dandi tersenyum riang, seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan yang di idamkan.
Dandi lalu memutar tubuhnya, menyalakan TV berukuran besar dan Playstationnya. Ia lalu mengambil stick PS-nya dan memberiku satu.
“Mau main apa?” kata Dandi sambil membuka tempat kaset yang berisi puluhan kaset PS. Aku bisa memaklumi saat melihatnya, karena kakakku juga seorang gamer. Bahkan koleksi kasetnya lebih banyak daripada punya Dandi.
“Harvest moon atau The Sims?” kataku semangat, namun melihat ekspresi Dandi yang bosan aku mengurungkan niatku untuk berkebun di Harvest Moon atau mencari pacar di The Sims.
“Gak seru, Sar”
“Yaudah, GTA aja deh”
“Bosen”
“Final Fantasy?”
“Gak seru”
“Terus maunya apa dong?”
“Bully”
“Ih gamau gue” Aku langsung menolak keras dengan tawaran permainan itu, aku tahu itu adalah permainan kekerasan dan menampilkan gambar yang tidak seharusnya aku lihat. Aku pasti akan sangat merasa canggung nanti saat main.
“Yaudah, shadow of the colossus aja gimana?” Dandi mengambil salah satu kaset, lalu menunjukkannya kepadaku. Aku belum pernah memainkan itu sebelumnya, tapi aku terlalu lelah berdebat dengannya jadi aku hanya menganggukkan kepala pasrah.
Saat Dandi mulai mengatur permainan, aku berpikir bahwa yang kami lakukan sekarang seperti kencan. Banyak artikel tentang remaja bilang bahwa bermain video game dirumah adalah kencan yang romantis namun sederhana. Aku setuju.
Di permainan Shadow of colossus ini pemain mengambil peran seorang pria muda yang mencari kebenaran dari kisah kuno kekuatan tersembunyi di dalam tanah mistis. Shadow of Colossus adalah perjalanan megah melalui tanah kuno untuk mencari dan menghancurkan binatang mitos raksasa. Dengan kuda terpercaya di sisi, pemain mengeksplorasi tanah luas dan menggali setiap makhluk Colossus menjulang. Tugas resah mengalahkan Colossus yang bergantung pada pemecahan teka-teki cerdas dan gameplay berorientasi aksi. Berbekal kecerdasan yang kuat, pedang mistik dan busur kokoh, pemain menggunakan kecerdikan dan strategi untuk menggulingkan raksasa masing-masing.
Aku mendesah pelan, merasa frustasi dengan permainan konyol ini. Aku tidak mengerti sepenuhnya tentang permainan mengalahkan monster-monster besar sambil menunggangi kuda. Aku cukup jago dalam bermain video game, tapi mengapa permainan satu ini terasa sangat sulit untukku. Biasanya aku hanya perlu waktu setengah jam untuk mengerti sebuah permainan, tapi kali ini sudah hampir dua jam lebih aku bermain bersama Dandi tapi masih belum bisa mengalahkan sang monster.
Dandi melirikku saat aku membanting pelan stick PS-nya ke ranjang, ia lalu menyudahi permainan itu dan mematikan TV. Aku merebahkan tubuh dan memejamkan mata sebentar, duduk didepan TV untuk mengalahkan monster selama dua jam cukup melelahkan. Aku membuka mataku lalu terbelalak saat melihat Dandi yang berada tepat diatasku. Dia tersenyum simpul, aku melayangkan tamparan kecil di pipi kirinya lalu bangun.
“Jangan macem-macem deh” kataku sambil duduk menyilang. Dandi hanya tertawa lalu mengubah posisi duduknya jadi menghadapku.
“Lo jangan mikir yang kagak kagak makanya” Ia menatapku menggoda, aku mengambil bantal lalu menimpuknya dengan keras. Ia meringis tapi kemudian membalasku.
Kami perang bantal, cukup menyenangkan. Saat aku lengah, Dandi memukulku dengan guling hingga aku jatuh terlentang di ranjang. Bukannya membalas, aku malah tertawa keras.
“Kenapa ketawa coba?” Dandi menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.
Aku menggeleng pelan. “Gapapa”
“Sar, sini. Majuan” kata Dandi sambil mengulurkan tangannya. Aku memajukan posisi dudukku lalu menatapnya datar.
Dandi tiba-tiba memajukan kepalanya. Jarak wajahnya denganku sangat dekat sampai aku bisa melihat bola matanya yang hitam kecokelatan, tapi ia memiringkan kepalanya dan meletakkan dagunya di pundakku.Tepat di telingaku ia berkata lirih “Kalo gue suka sama lu, gimana?” Aku merasakan jantungku jatuh ke perut, darahku terpompa dengan sangat cepat. Aku bisa merasakan hembusan nafas Dandi di leherku. Ia tidak bergeming, masih di posisi tadi.
“Erng, Dan?” kataku gugup.
“Hm?”
“Jangan kayak gini, gue gak-----“
Dandi malah melingkarkan kedua tangannya ke punggungku, lalu mendekapku erat. Aku bisa meraskan jantungnya yang berdegup kencang. Dandi sepertinya mencium bahuku, sedikit geli karena kumis tipisnya menempel dibahuku. Sungguh, aku bisa mati kalau begini.
Aku tidak bergeming, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Membalas pelukannya? Tidak, tanganku terlalu gemetar hanya untuk melingkar di punggung Dandi. Dia bilang, dia menyukaiku? Astaga, aku rasanya ingin terbang dengan roket sekarang juga.
“Sar?” bisik Dandi. Hembusan nafasnya terasa sangat hangat, astaga. Bunuh aku, kumohon.
“Y-ya?”
“Mau gak jadi pacar gue?”
Rasanya aku ingin sekali memukul kepalaku keras-keras dengan pentungan baseball. Rasa ini sungguh tidak bisa kujelaskan, terlalu indah. Ini semua diluar dugaanku, aku rasanya tidak tahu lagi caranya bernafas.
“Lo serius?” kataku meyakinkan. Walaupun sebenarnya aku sangat yakin dengan apa yang baru saja ia katakana, ini hanya modusku agar ia menjelaskannya sekali lagi.
Dandi melepaskan pelukannya lalu menatapku dalam, ia memiringkan kepalanya. Aku bisa merasakan bahwa ia menyeringai sekarang, jangan bilang ia akan menciumku tepat di bibir? Tidak!
Aku menutup mataku, tidak berani melihat apa yang akan terjadi. Nafasku tercekat saat aku merasakan hembusan nafas Dandi di bibir. Tapi ada sesuatu yang menggelitik tepat di sudut bibir ku, itu kumis Dandi. Dia mencium sudut bibirku, astaga. Syukurlah, karena aku belum siap untuk mendapatkan first kiss ku sekarang.
“Be mine, please?” kata Dandi sambil mengusap kedua bahuku. Aku tahu, ini adalah strateginya agar aku menjawab ‘iya’. Rupanya dia mengandalkan sentuhan dan perlakuan lembut untuk mendapatkan pacar. Oh, tapi sekarang ia milikku.
“I would love to” kataku tegas, lalu kami berdua tersenyum.
***
Aku bangun pukul 07.00 pagi, kalau bukan karena omelan Mama tadi mungkin pukul 11.00 siang aku baru akan bangun. Aku masih ingin melanjutkan mimpi indahku sebenarnya, memanjat tebing bersama Justin. Itu sedikit mengerikan karena di mimpi aku berada di ketinggian yang mencapai 500 meter. Tapi karena ada Justin di sampingku, itu terasa sangat sangat sangat indah. Oh,Justin. Berhentilah menjadi pria tertampan di muka bumi ini.
Aku mengambil handuk dan hendak langsung ke kamar mandi, tapi bunyi ponselku menjadi penghalang. Dengan cepat aku meraih ponselku yang terletak di kasur, dan mengernyit saat membaca pesan dari nomor yang tidak dikenal.
From : +6285649572882
Keluar sekarang, gue ada didepan rumah lo
Mungkin itu Dandi? Mungkin saja ia ingin memberiku kejutan, kau tahu ia adalah pria termanis yang pernah ada selain Justin Bieber. Aku membayangkan ia memegang setangkai mawar putih sambil tesenyum manis kepadaku, aku langsung melempar handuk dan bergegas keluar rumah. Tapi aku malah melihat seorang cowok yang memakai kemeja merah sedang berdiri memunggungiku, itu bukan Dandi. Saat ia berbalik, aku masih berusaha mengingat wajahnya yang sepertinya baru kutemui beberapa hari,minggu, atau bulan yang lalu. Andre.
“Sarah” Andre menyapa dengan suara yang berat. Ia menyeringai, dan itu membuatnya terlihat seperti penjahat yang ingin menculik balita malang.
“Eh? Ada apa?”
“Gue pengen ngomong” Dia melipat tangannya didada, lalu menatapku dengan penuh arti. Tapi aku tidak yakin kalo arti tatapan itu positif.
“Oh, mau masuk?” Sebenarnya aku enggan untuk mempersilahkan cowok asing masuk kedalam rumahku, tapi aku juga tidak ingin dibilang tidak sopan karena tidak mempersilahkan tamu masuk.
“Gausah, disini aja” Dia tersenyum sok manis, ew. Entah mengapa aku jadi makin tidak menyukainya sekarang. Dia pembuat masalah di sekolah, dan aku tidak menyukai cowok-cowok pembuat masalah.
“Oh yaudah, ngomong cepet” kataku tak sabaran. Terlalu banyak basa-basi, aku malas berlama-lama dengannya.
“Lo baru jadian sama Dandi ya?”
Bagaimana ia tahu? Apa Dandi memberi tahu kesemua temannya? Secepat itukah?
Aku mengangguk pelan. Andre tertawa, kesannya seperti mengejek menurutku. Atau memang benar mengejek, aku menaikkan alisku lalu menatapnya tajam.
“Mau aja lo dibegoin sama Dandi, lo tuh cuma dimainin sama dia” kata Andre yang langsung membuat jantungku berdegup kencang. Tidak, itu pasti tidak benar.
“Gue gak percaya sama lo” kataku dengan suara tertahan. Tidak, aku tidak boleh menangis. Yang dikatakan Andre pasti hanyalah lelucon.
“Terserah lo mau percaya atau enggak, yang penting gue udah baik hati mau kasih tau elo! Dandi itu cuma mau mainin lo, dia itu cowok yang punya banyak cewek” Andre mengadahkan kepala, lalu tertawa. Aku ingin sekali menonjoknya sekarang juga, sangat ingin.
“Ceweknya bukan cuma lo doang. Lo dibohongin! Percaya sama gue, Sar. Dia brengsek”
Seharusnya aku marah saat dia bilang kalau Dandi brengsek, seharusnya aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Andre, seharusnya aku menamparnya keras-keras karena sudah menjelekkan Dandi didepanku.
Tapi aku malah percaya, aku percaya kalau Dandi benar-benar mempermainkan aku. Aku percaya, dan itu menyakitkan.
***
Aku kerumah Salsa dengan keadaan mata bengkak karena menangis semalaman, Mama sampai khawatir denganku. Ia tidak mengerti kenapa aku menangis menjerit-jerit seperti orang kesetanan, tapi aku tidak mungkin  bilang bahwa aku putus cinta.
Salsa langsung memelukku saat aku masuk ke kamarnya setelah dipersilahkan oleh Mama Salsa. Aku menahan tangisku agar tidak keluar lagi seperti semalam, aku takut jika nanti Mama Salsa mendatangkan seorang ustadz untuk merukiyahku karena aku dikira kemasukan jin.
“Maaf ya, Sar. Gara-gara gue lo jadi gini, gue gak tau kalo dia kayak gitu” kata Salsa dengan nada penyesalan, persis saat waktu ia meminta maaf pada Nopi karena telah mendorong Nopi ke Abrar sampai keduanya jatuh tersungkur tepat ditengah lapangan.
Aku mendesah, “Gapapa, gua juga yang salah karna terlalu buru-buru. Harusnya gue cari tau siapa dia sebenernya”
Salsa menghembuskan nafas perlahan, lalu menatapku dengan tatapan bersalah. Bagaimanapun juga karena dia aku jadi begini.Saat semalam aku menelfonnya sambil menangis, dan menceritakan semuanya, ia tidak berhenti meminta maaf sampai aku memutuskan sambungan telfon/Tapi aku tidak ingin menyalahkannya, dia pasti bermaksud baik dan juga tidak tahu kalau akan begini. Aku mengerti.
Aku merebahkan diri di kasur Salsa sambil menatap posrer Justin yang tertempel tepat di depan kasur. Oh, Justin. Kau terlalu sempurna untuk disebut manusia. Hanya dengan menatap poster , foto-foto , mendengarkan lagu, menonton video Justin bisa membuat moodku membaik.
Tiba-tiba muncu sesosok Nopi di depan kamar Salsa, ia terlihat bingung dan kaget. Nopi lalu buru-buru menghapiriku dan Salsa. Napasnya memburu, Salsa lalu menyuruhnya untuk menenangkan diri lalu cerita apa yang terjadi.
“Dandi, Sar” kata Nopi tidak jelas. Dandi? Apa Nopi ingin mengejekku karena aku sedang patah hati karena Dandi.
“Lo mau ngejek gue?” kataku sebal.
“Dandi, ada diluar. Dia pengen ngomong sama lo katanya” Nopi menunjuk kearah kearah luar yang tetrutupi tembok.
“Hah? Bohong lo ya?”
“Suer, gue kagak boong! Tadi pas gue mau masuk kerumah Salsa, si Dandi kayaknya lewat terus liat gue. Dia nanya lo ada dimana, ya gue kasih tau aja lo disini” ujar Nopi dengan tampang tanpa dosa.
Aku menghela napas karena tindakan bodoh Nopi. Ia kan tahu kalau aku baru saja terkena musibah karena Dandi, sekarang ia malah mempertemukanku dengan cowok terkutuk itu. Sialan. Tapi, baiklah aku akan menghampiri Dandi karena aku bukanlah gadis pengecut yang takut dengan cowok cemen seperti Dandi.
Aku keluar dan melihat Dandi turun dari motornya. Ia menatapku dengan sayu, bagian rahangnya memar. Pipi kirinya juga biru, aku ingat waktu itu aku pernah menamparnya dibagian itu. Tapi kenapa efeknya baru telrihat sekarang? Dan seingatku itu hanyalah tamparan kecil yang tidak mungkin menimbulkan bekas memar seperti itu.
“Kenapa?” kataku ketus sambil menatapnya tajam.
“Kamu percaya sama Andre?” katanya dengan lembut, ew. Aku sudah muak dengan perkataan lembutnya, bullshit.
“Iya”
“Kamu lebih percaya sama Andre daripada aku?” Dandi mendekatiku, tapi aku melangkah mundur. Aku benar-benar tidak ingin berada di dekatnya.
“Iya” Aku memasang wajah bosan, memang benar bosan karena sikap sok manisnya kepadaku. Sungguh, itu sudah tidak mempan untukku.
Dandi menunduk, lalu menghembuskan nafas perlahan. Ia menatapku “Aku mohon, percaya sama aku—“
“Percaya apa? Hah? Lo ngebohongin gue! Lo pikir gue apa?! Brengsek tau gak lo, Dan! Muak gue sama lo!” ucapku berapi-api, aku sudah tidak bisa menahan emosi.
“Sar, aku mohon percaya sama aku. Dia itu bohong, dia cuma iri sama aku Sar” Dandi menjulurkan tangannya tapi aku menepisnya kasar.
“Iri? Iri karna lo punya banyak cewe? Hah, Gue udah muak sama lo plis. Jadi, mending lo pergi sana!” kataku lalu membalikkan ubuh untuk masuk kerumah Salsa tapi aku merasakan Dandi mendekat lalu memeluk tubuhku dari belakang.
“Aku mohon, dengerin dulu plis” Dandi mempererat pelukannya, aku berusaha melepaskan cengkramannya didadaku tapi dia seorang cowok yang mempunyai tenaga lebih.
“LEPASIN! GUE JIJIK SAMA LO!” teriaku, lalu kurasakan mataku memanas. Tidak, jangan menangis disini Sarah, jangan.
“Sarah, kamu jangan percaya sama Andre. Dia itu bohongin kamu karna dia dendam sama aku, dia waktu itu suka sama Lulu, mantan aku. Pas aku putus sama Lulu, dia nembak Lulu tapi ditolak”
Aku tahu, memar bekas pukulan itu pasti ulah Andre.Dandi meletakkan dagunya dibahuku, persis seperti waktu itu. Aku merasakan hatiku seperti terpotong kecil-kecil sekarang.Ini sama menyakitkannya dengan melihat Justin dating dengan Selena.
“Waktu itu aku bawa kamu ke rumah Andre biar dia tau kalo aku udah punya pacar baru, dan gamungkin masih kontakan sama Lulu. Tapi ternyata dia ditolak, dan dendam banget sama aku”
Dia hanya memanfaatkanku dengan menjadikanku pacar palsu agar Andre tidak dendam dengannya, oh. Licik.
“Aku waktu itu emang manfaatin kamu, tapi gatau kenapa aku jadi beneran suka sama kamu Sar. Serius,percaya sama aku. Aku minta maaf udah bohongin kamu waktu itu.Aku—“
“Lo jahat, serius” Aku menangis, malu sekali rasanya menangis didepan cowok yang telah membohongi kita.
“Maafin aku, Sar. Maaf”
“Lo jahat, Dan”
“Sarah, aku sayang sama kamu. Tolong, percaya sama aku. Maafin aku”
“Gue gak—“
“Kamu harusnya lebih percaya sama aku, pacar kamu. Daripada Andre, orang asing”
Aku seperti dipukul dengan palu berkali-kali, kalimat yang baru diucapkan Dandi kenapa sangat menyentuh hatiku? Aku harusnya lebih percaya Dandi daripada Andre. Tiba-tiba, aku merasa sangat-sangat bodoh. Dandi benar, seharusnya aku lebih percaya padanya. Aku melepaskan pelukan Dandi yang merenggang, lalu berbalik menatapnya. Kelopak matanya basah, apakah ia habis menangis?
“Percaya sama aku, aku gak bermaksud bohongin kamu. Aku sayang sama kamu, aku—“
Aku memeluk Dandi, ia lalu membalas pelukanku. Aku menenggelamkan wajahku didadanya, lalu menghirup aroma tubuhnya kuat-kuat.
“Aku percaya, Dan”
Dandi pasti tersenyum, aku tahu itu walaupun aku tidak melihatnya karena sekarang aku juga tersenyum.








0 comments:

Post a Comment

 

Fly away with me☂ Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review

Hetalia: Axis Powers - Liechtenstein