_____
“Gam”
Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil
namaku berkali-kali. Tanganku keram, leherku
sakit dan mataku terasa berair karena mengantuk. Aku mendongakkan kepala
dan melihat anak laki-laki berambut keriting di depanku, ia memasang wajah
ngeri sekaligus prihatin.
“Mimpi apa?” Bu Wike tersenyum. Tetapi
pandangannya mencela. Aku tahu, dia memang tidak pernah menyukaiku. Sebenarnya,
semua guru memang tidak ada yang menyukaiku.
“Mimpi ngeliat ibu jalan bareng pak Wira”
jawabku sambil nyengir dengan lebar.
Ya, sudah kuduga aku akan menghabiskan sisa
waktuku sampai pulang di lapangan. Bu Wike murka sekali saat aku bilang aku
bermimpi bertemu dengannya yang sedang berdua dengan Pak Wira—dia digosipkan
pacaran dengan pak Wira—sampai-sampai ia mencubit perutku keras sekali dan
menyuruhku hormat ke bendera merah putih selama sisa pelajaran. Tapi itu tak
jadi masalah. Aku cinta dengan Negeri ini.
Aku
mencium wangi parfum Chanel Coco
Mademoiselle, yakin sekali bahwa sekarang ini ada seorang gadis berambut
cokelat panjang yang menghampiriku. Aku membalikkan badan dan menemukan Estella
yang tersenyum manis.
“Hai,
seperti biasa. Lama-lama itu muka keling deh tiap hari berdiri di sini” kata
Stella, ia memberiku pandangan memaklumi.
“Abis
ngapain?” kataku lalu menarik tangan Stella ke kursi taman yang letaknya tak
jauh dari tiang bendera. “Ngerokok lagi, ya?”
Stella
mengernyit sambil menatapku lekat-lekat, ia lalu tertawa pasrah. Dia cantik,
tapi kacau. Dia memiliki hati yang sebenarnya baik, namun kebiasaannya lah yang
buruk. Bahkan sepertinya lebih buruk dariku, tapi.. Dia adalah seorang gadis.
Apakah seorang gadis berumur enam belas tahun pantas memakai rok sekolah yang
amat mini, merokok di kamar mandi sekolah, mempunyai tato di lengannya—Stella
menutupnya dengan jam tangan besar yang terlihat aneh—, atau pergi ke tempat
hiburan hingga subuh. Semua pria normal pasti muak dengannya, tetapi tidak
denganku. Aku mencintainya.
“Aku
‘kan udah bilang, jangan ngerokok terus” kataku dengan nada lelah, ia sungguh
keras kepala.
“Emang
kenapa? Kalo gak bolehnya karena takut aku mati, aku gak takut kok. Lagian,
kamu juga ngerokok!” Stella melepaskan tangannya yang sedari tadi aku genggam,
wajahnya kini cemberut.
“La,
kamu ini cewek! Gak pantes—“
“Oh
ya, terserah kamu gam”
Aku menghela nafas sambil memandangi punggung
Stella yang kini menjauh. Rambut ikal cokelatnya yang terurai ke belakang
terlihat indah saat bergoyang karena Stella berjalan dengan cepat—sekali-kali
ia menengok ke belakang.
Orangtua Stella bekerja di Asutralia,
mengelola perusahaan yang di wariskan kakeknya. Ibunya berasal dari Makassar,
dan ayahnya dari Australia. Stella kesepian, aku tahu itu. Aku mengenalnya saat
melihat ia keluar dari kamar mandi pria. Ia sedang mabuk saat itu. Sekolah sebenarnya
mempunyai banyak suara untuk mengeluarkannya, tetapi sepertinya harta Stella
lebih banyak dari semua suara itu.
Tenggorokanku terasa sangat kering ketika bel
pulang berbunyi dengan nyaring. Aku lantas pergi ke kelas yang nyaris kosong.
Bu Wike pastilah pulang duluan, itulah kebiasaan dia. Pulang dua puluh menit
sebelum bel.
“Gam, balik gak?” Tanya Eka yang baru saja
memasukkan buku-buku ke dalam tasnya dengan asal.Ia teman sebangkuku, dan juga
teman menuju lubang neraka. Ia senang menemaniku berbuat sesuatu yang
menyimpang.
“Iya, rokok dulu tapi” kataku, aku mengambil
tas ku dan langsung keluar meninggalkan kelas bersama Eka. Menuju halaman
kosong sebelah sekolah.
Aku menghisap rokokku dan menghembuskan
asapnya kuat-kuat dengan harapan kepulan asap itu bias membawa semua masalahku
pergi. Aku menghembuskan asap terakhir dari rokokku saat melihat sesosok gadis
muncul. Eka menyikutku agar aku menghampiri gadis itu. Dia lalu mengajakku
untuk menjauh dari Eka.
“Hai,
kenapa?” aku merasa suaraku tertahan.
Tak ada yang bisa kulakukan saat ini selain
melingkarkan tanganku ke punggung Gianna. Aku tidak mengerti apa yang sedang
terjadi, apa maksud Gianna melakukan ini—memelukku
dengan erat secara tiba-tiba.Gianna benar-benar membuatku gila.
Gianna menatapku lekat-lekat, kedua tangannya
masih melingkar di pinggangku. Jarak kami benar-benar dekat,aku bisa melihat
bulu matanya yang panjang dan indah. Gianna tersenyum simpul, lalu ia berkata
lirih.
“Makasih ya, Gam”
“Buat apa?”
“Buat semuanya. Cuma kamu yang selalu ada
buat aku”
“Ya, tapi—“
“Aku sayang kamu, Gam” kata Gianna, matanya
sekarang berkaca-kaca. Gianna meletakkan kedua tangannya di pipiku. Dia berjinjit
lalu mencium keningku.
“Gi, tapi—“
“Tapi apa?”
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dia
menyayangiku, apa itu salahnya? Sejujurnya aku juga menyayanginya, tapi…
Bagaimana dengan Stella? Aku tak mungkin meninggalkan Stella. Tapi Gianna
adalah gadis yang sempurna.Aku pun tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi..
“Gam, kenapa?” Tanya Gianna, matanya menatap
mataku dalam. Aku makin tidak fokus.
“Stella..”
“Tapi aku juga sayang kamu, Gam. Aku butuh
kamu untuk selalu ada buat aku. Dan aku juga yakin kamu butuh aku karena Stella
gak bisa bikin kamu bahagia sepenuhnya”
Aku diam terpaku mendengar ucapan Gianna. Dia
mengatakannya. Menjelaskan semua perasaan gusar ku selama ini. Stella tidak
bisa membuatku bahagia sepenuhnya? Benarkah itu? Aku tidak ingin
mempercayainya. Aku tidak ingin tetapi selama ini memang hanya Gianna yang bisa
mengerti perasaanku, dia adalah gadis baik-baik. Dia adalah gadis yang
diinginkan Ibuku untuk bisa menuntunku ke jalan yang benar.
“Aku gak mungkin khianatin Stella, dia.. dia
udah terlalu lama sama aku dan gak mungkin aku ninggalin dia”
Gianna menundukkan kepalanya. Tak lama kedua
bahunya berguncang pelan. Dia menangis. Kenapa dia harus menangis? Aku tidak
suka melihat wanita menangis. Bahkan Stella tidak pernah menangis lagi di
depanku semenjak aku mengatakan itu kepadanya.
Aku menariknya mendekat dan menempelkan
kepalanya ke dadaku. Aku yakin Gianna pasti bisa mendengar jantungku yang
berdetak kencang.
“Gi, jangan nangis. Aku gak mau liat kamu
nangis”
Begitu sedihnya kah Gianna? Sampai-sampai
tangisnya tidak berhenti dan semakin dalam. Bajuku basah, aku tahu itu. Kenapa
air matanya tidak habis? Apa dia tidak lelah menangis terus seperti itu?
Lagipula jantungku juga tidak ingin berdetak lebih kencang lagi.
“Oke Gi, oke. Aku akan jalanin apa yang kamu
mau”kataku akhirnya. Aku ragu tetapi aku berusaha untuk meyakinkannya lewat
suaraku yang tegas.
Gianna lalu melingkarkan kedua tangannya di
pinggangku dengan posisi masih seperti tadi. Apa dia tidak tahu bahwa
sesungguhnya aku lelah berada di posisi seperti ini. Memeluknya di dadaku
tetapi dalam dadaku menolak mentah-mentah karena hatinya milik orang lain.
***
Stella terbaring di tempat tidur dengan dress tanpa
lengan warna hitam masih menempel di
tubuhnya yang kurus itu. Aku membayangkan semalam ia pulang jam tiga pagi
dengan sempoyongan. Dia pasti diantar pulang oleh Kathleen—temannya yang sangat
setia mengantarnya pulang setiap kali ia mabuk. Aku tahu itu.
Aku menarik selimut ke tubuhnya, lalu
mengecup keningnya sekilas. Saat aku memutar kenop pintu kamarnya, aku
mendengar dia mengumamkan namaku. Aku menoleh ke belakang, Stella tersenyum manis.
Wajahnya terlihat lebih lucu saat ia baru bangun tidur.
“Jangan suka cium anak orang” kata Stella, ia
tersenyum menggodaku. Aku tertawa dan kembali menghampirinya lagi.
“Biarin” balasku lalu menjulurkan lidah.
“Laper nih” kata Stella sambil memegangi
perutnya.Aku menggeleng-geleng pelan.
“Sikat gigi dulu, nanti aku bikinin sarapan”
Baru saja aku bangun, aku merasakan kedua
tangan Stella melingkar di pinggangku.Aku merasakan hembusan nafasnya yang
hangat. Ia lalu berkata lirih,
“Forehead
kiss, please?”
Aku tersenyum kecil lalu membalikkan tubuhku
saat Stella melepaskan pelukannya. Ia nyengir sebentar. Aku menundukkan
kepalaku untuk mencium puncak kepalanya. Aku sangat menyukai aroma wangi rambut
Stella, segar dan manis.
“Agam Bumiputra” kata Stella, ia melingkarkan
tangannya ke pinggangku lagi dan menempelkan pipi kanannya di perutku.
“Yes, Miss Johnson?” Aku mengusap lembut
rambutnya.Ia terkekeh pelan. Dia bilang aneh rasanya jika aku memanggilnya
dengan nama belakang.
“I love
you with all of my heart,so please do not ever leave me”
Hatiku mencelos. Kalimat Stella tadi
benar-benar menohokku. Seperti ada palu besar yang kini memukuli seluruh
tubuhku.Aku malu.Aku tak bisa.Apa yang harus kulakukan. Aku mengkhianatinya.
Aku mengkhianati orang yang benar-benar menyayangiku.
Lima bulan sudah cukup. Aku tak bisa
menyakitinya lebih dalam lagi. Tapi.. bagaimana aku bisa meninggalkan Gianna?
Apa yang harus kukatakan padanya? Aku sungguh tak—
“Gam, kamu sayang aku kan?”
***
“Sayang banget”
Begitulah jawaban Gianna tiap kali aku
menanyakan perasaannya terhadapku. Dan belum berubah hingga saat ini. Aku
melingkarkan lenganku ke pundaknya, dan dia meletakkan kepalanya ke pundakku.
Aku tak ingin membayangkan Stella sedang jalan-jalan di taman dan melihatku.
Bersama Gianna.
“Gi, kamu yakin masih bisa ngejalanin ini?”
tanyaku mantap. Dan rasanya aku ingin sekali Gianna menjawab bahwa dia tidak
ingin menjalaninya lagi, bahwa dia tidak ingin bersamaku lagi dan memilih
pergi. Tetapi aku tahu itu mustahil karena jawabannya menamparku dengan keras.
“Aku akan bertahan, Gam,” kata Gianna
mengangkat kepalanya dari bahuku dan menatapku.”Aku tau kamu masih ragu karena
kamu masih sayang Stella”
“Aku akan terus sayang sama Stella, Gi.Aku
gak akan pernah bisa lupain Stella dan—“
Bulir air mata Gianna menggumpal di sudut
matanya. Sudah siap jatuh. Oh,ya aku akan membiarkan itu jatuh. Sampai habis
kalau perlu. Supaya tidak akan ada kepura-puraan lagi di antara aku dan Gianna.
“Aku tau Stella emang gak sebaik kamu. Stella
sama sekali bukan permpuan yang baik yang aku bisa banggain di depan Ibu aku,
tapi aku gak perduli itu. Aku sayang sama Stella. Aku salah selama ini,” kataku
lancar. Ya, memang aku sudah menyiapkan ini dari jauh-jauh hari.
“Kamu emang gak sayang sama aku?”
“Aku sayang sama kamu. Tapi aku lebih sayang
Stella. Aku gak sadar kalo selama ini dia yang sebenernya ada buat aku, bukan
kamu...
Aku yang brengsek. Aku tahu itu. Aku
mengkhianati Stella. Dia gadis baik tetapi dia tidak mempunyai kesempatan untuk
menunjukkannya kepadaku karena aku terlalu sibuk membenci semua yang salah pada
dirinya. Aku terlena pada perlakuan baik Gianna kepadaku.
Tetapi Stella… Aku tidak pernah ada untuknya.
Seharusnya aku mengantar Stella pulang saat Kathleen menelfonku kalau Stella mabuk
berat. Tetapi aku datang pada pagi harinya. Seharusnya juga aku menasihatinya
bahwa sering mabuk bukanlah hal yang baik sebagai perempuan.
Sedangkan dia.. Dia datang ketika aku
bertengkar dengan Ibuku karena aku tertangkap habis mabuk saat itu. Stella di
caci maki oleh Ibu karena dia memakai hotpants dan kaus ketat ke rumahku.
Tetapi dia tidak perduli, dia datang ke rumahku dan membawaku pergi.
Dia selalu berusaha untuk ada. Tetapi aku
seakan tidak pernah mengizinkannya.
“Maaf, Gi. Aku udah gak bisa. Aku sayang sama
Stella, dan itu gak akan pernah berubah”
Gianna mengangguk pelan. Dia tersenyum pedih.
Air matanya masih mengalir deras di pipinya yang bersih. Dia lalu bangun dari
kursi taman ini dan berjalan menjauh dariku. Saat dia sudah tidak terlihat
lagi, aku meyakini diriku bahwa mungkin tadi adalah terakhir kalinya aku
melihat Gianna.
***
Keadaan rumah Stella sedikit berubah sejak
terakhir kali aku kesini saat aku membawakannya seikat bunga dan berbagai macam
snacks untuknya.Itu sekitar tiga
minggu lalu. Sekarang rumahnya jauh lebih rapih. Entah kenapa aku jadi berharap
Stella memakai dress berwarna soft pink
yang pernah aku belikan untuknya. Aku sangat bahagia akan bertemu dengannya
setelah seminggu yang lalu aku memisahkan diri dari Gianna. Aku merindukan
Stella. Sangat.
Aku lalu berlari menaiki tangga menuju kamar
Stella dengan semangat. Aku ingin segera memeluknya. Mengatakan kepadanya bahwa
aku sudah bebas dan aku akan selalu terus bersamanya.Meskipun aku yakin dia
tidak mengerti maksudku. Kupikir tidak perlu untuk mengatakan kepadanya soal
Gianna.
Stella sedang memilih pakaian di lemari
besarnya ketika aku masuk ke kamarnya. Apa mungkin dia ingin berganti pakaian
dengan dress soft pink yang aku berikan? Aku segera menghampirinya. Dia
tersenyum.
“Maaf aku gak hubungin kamu selama seminggu.
Aku kangen kamu” kataku sambil mendekatinya. Dia hanya tersenyum lagi sambil
mengangguk.
Stella lalu menghampiri kasurnya yang
dipenuhi pakaian. Apa Stella akan menjual semua pakaian brandednya? Dia memang mempunyai kebiasaan menjual pakaian yang
menurutnya sudah out of date.
“Kamu mau jual baju? Kok banyak banget,
La?”kataku sambil duduk di sampingnya.
“Gak kok” katanya. Dia sibuk memilih-milih
pakaian yang berserakan di kasur.
“Terus?”
Stella menghentikan pekerjaannya. Dia
menghembuskan nafas pelan lalu menatapku. Sebuah senyuman kecil muncul dari
bibirnya. Dia sungguh cantik. Aku tidak bisa membayangkan perempuan yang lebih
cantik dari Stella. Mungkin tidak ada. Kalaupun ada, aku akan tetap menganggap
Stella sebagai perempuan paling cantik yang pernah kulihat.
Aku ingin memegang tangannya, aku ingin
memainkan rambutnya yang indah, aku ingin mengusapkan tanganku yang dingin ke
pipinya yang selalu hangat, aku ingin memeluknya, aku ingin bersmaanya, aku
ingin..
“Babe,
do you want to bring your pig doll?”
Seorang pria asing berambut blonde, berbadan tinggi dan tegap
berdiri di pintu kamar Stella. Terpaku. Sambil membawa boneka babi besar di
tangannya.Setahuku Stella menyimpan boneka itu di kamar tamu. Boneka itu adalah
hadiahku untuk Stella saat dia berhasil mendapat sembilan pada mata pelajaran
Biologi. Dan Stella benci Biologi.
“Babe,
who is he?” kata laki-laki itu lagi. Wajahnya menyorotkan kebingungan.
Stella menghampiri laki-laki itu dan
mengambil boneka babinya dan meletakkan benda itu di sofa kecil. Dia lalu
mengamit lengan laki-laki itu dan berjalan keluar kamar. Meninggalkan aku
sendirian di kamarnya yang terang.
Babe?
Kenapa laki-laki itu memanggil Stella dengan panggilan sayang semacam itu?
Stella adalah pacarku. Tidak seharusnya laki-laki itu memanggil Stella dengan
panggilan sayang itu. Hanya aku yang boleh memanggilnya dengan panggilan
sayang. Apa laki-laki itu tidak tahu bahwa Stella sudah mempunyai pacar? Aku pacarnya.
Stella milikku. Aku tidak akan pernah rela Stella mendapat panggilan seperti
itu dari orang lain.
Dan kenapa Stella mengamit lengan pria itu?
Kenapa Stella tidak menjelaskan bahwa aku adalah pacarnya. Kenapa Stella harus
membawa pria itu keluar kamar ini? Ada apa? Apa maksud Stella? Aku tidak
mengerti. Stella tidak seharusnya begini.
Aku keluar kamar Stella dan mencari mereka.
Aku akan menjelaskan kepada laki-laki itu kalau aku adalah pacar Stella dan
tidak seharusnya dia memanggil pacarku dengan sebutan seperti itu. Di depannya
aku akan merangkul Stella dan mencium puncak kepalanya.
Tetapi..
Aku melihat mereka. Stella mencium pipi
laki-laki itu dan mereka… Aku tidak percaya. Apa yang mereka lakukan? Apa
Stella tidak sadar apa yang dilakukannya?
Aku segera menghampiri mereka dan mendorong
laki-laki itu agar menjauh dari Stella. Aku memukul pelipis laki-laki itu
hingga ia tersungkur jatuh. Aku ingin memukulinya sampai ia mati tetapi Stella
menarik bahuku.
“Gam, stop.
Stop” kata Stella sambil menahan kedua lenganku.
“Kenapa? Kenapa aku harus berhenti? He kissed you! Why I should stop?”
Stella mulai menangis.
“Aku gak suka liat kamu nangis!”
Stella menggelengkan kepalanya sambil masih
menangis. Aku benci melihatnya menangis. Dia adalah gadis kuat. Kenapa dia
harus menangis. Apa dia menangisi laki-laki yang sekarang tak berdaya di
lantai? Untuk apa?
“Dia siapa, La?” Aku mencengkram pergelangan
tangannya keras.
“Gam..”
“Dia siapa?!” Kali ini aku membentaknya.
Stella menangis makin menjadi-jadi. Aku menghembuskan
nafas gusar. Kenapa sih anak ini harus menangis? Tidak ada yang perlu
ditangisi. Dia hanya perlu bilang padaku bahwa laki-laki itu hanya orang gila
yang terobsesi padanya. Stella bisa bilang padaku bahwa—
“I’m
her boyfriend, don’t you dare to touch her” kata laki-laki itu serak.
Aku melepaskan cengkramanku di tangan Stella.
Aku menarik rambutku sampai rasanya semua rambut itu keluar dari kulitnya. Aku
berteriak sekuat tenagaku. Stella masih terus menangis. Dia tampak sangat
ketakutan.
“Bilang sama aku kalau dia bohong” Aku
berteriak kepada Stella sampai gadis itu tersentak kaget.
“DIA BOHONG KAN? JAWAB IYA LA! JAWAB IYA!”
Kedua bahu Stella berguncang cepat. Aku belum
pernah melihatnya menangis seperti ini. Tetapi dia tidak boleh menangis. Dia
hanya perlu menjawab “ya” dan semua masalah akan selesai.
Laki-laki itu bangun dan memeluk Stella. Aku
membiarkan mereka. Bukannya karena aku mau, tetapi karena aku tidak sanggup
lagi. Aku terlalu lemas untuk memisahkan mereka. Aku tidak bisa lagi memukul
laki-laki itu seperti tadi. Aku tidak punya kekuatan dan alasan untuk itu.
“You
okay, babe?” Laki-laki itu mengusap kepala Stella. Seharusnya aku yang
melakukan itu.Bukan dia.
“I told
you that I am her boyfriend. Why you gotta be so mad, man? Stella and you are
no longer in relationship”
Aku hanya tersenyum miris mendengarnya.
.
.
.
.
Aku masih bisa
menggambarkan bagaimana ekspresi Stella saat itu. Saat dia mengatakan kepadaku
bahwa ia akan pergi ke Australia dan menetap disana. Wajahnya basah karena air
mata. Matanya merah. Tetapi dia masih terlihat cantik bagiku.
Hatiku sangat sakit saat
dia mengakui kalau laki-laki itu, Peter, memang pacarnya. Terdengar aneh karena
sebenarnya saat itu aku masih menjadi pacarnya. Tidak pernah ada kata putus
diantara kita berdua. Bahkan sampai saat ini.
Aku tidak mendapatkan
kejelasan sepenuhnya saat itu. Stella tidak memuaskan rasa ingin tahuku tentang
mengapa dia bisa berpaling ke Peter. Kenapa dia bisa meninggalkanku? Bagaimana
bisa dia melakukan itu?
Aku rasanya hampir mati
saat pulang kerumah. Stella meninggalkanku. Dia bersama laki-laki lain. Dia
tidak akan pernah muncul di hadapanku lagi. Hatiku sakit. Sangat sakit sampai
rasanya aku ingin menancapkan pisau di dadaku biar rasa sakit itu hilang. Aku
gila tanpanya.
Aku bahkan tidak bisa
memeluknya saat itu. Untuk terakhirnya. Stella adalah gadis yang selalu ada di
pikiranku. Bagaimana aku bisa menghapusnya?
Aku gila, Stella. Aku gila.
Tetapi hatiku semakin
tertusuk saat aku membaca surat yang ia tulis untukku. Aku merasakan sakit yang
luar biasa. Ini semua di luar pikiranku. Aku tahu aku harus bangkit. Tetapi aku
tidak tahu caranya.
“Gam..”
Ibu masuk ke kamarku. Dia
tahu. Dia tahu bahwa anaknya sedang sekarat, berjuang melawan sakit. Ibu paham.
Ibu mengerti. Dia selalu mengerti. Dan aku tidak bisa merasa lebih baik dari
itu. Saat Ibu memelukku. Aku merasa seperti anak laki-laki berumur enam tahun
yang jatuh dari sepeda. Menangis karena luka di lutut.
Tetapi saat aku menatap
wajah Ibu, aku melihat kerutan di wajahnya menandakan dia tidak semuda dulu
saat aku terjatuh dari sepeda. Aku anak laki-laki berumur delapan belas tahun.
Menangis konyol karena cinta. Lalu aku merasa bodoh. Merasa malu pada Ibu.
Aku selalu berbuat dosa.
Aku tidak pernah menurut padanya. Dia selalu marah padaku tetapi masih
memelukku dalam pelukan hangat saat aku menangis seperti ini. Aku menyi-nyiakan
segalanya. Hidupku sia-sia. Aku terlalu banyak berbuat salah.
“Sudahlah, nak. Ibu tau
Agam sedih, tapi Agam harus kuat. Ini pelajaran buat Agam. Ibu akan sama Agam
terus”
Mungkin aku salah pernah
bilang bahwa aku mencintai Gianna, ataupun Stella. Tidak ada perempuan yang
pernah kucintai selain Ibuku. Perasaanku kepada Gianna dan Stella hanyalah
perasaan kekanak-kanakan bocah laki-laki delapan belas tahun.
***
Dear, Agam
Bumiputra..
Mungkin saat kamu
baca ini, kamu lagi nangis karena aku. Bukannya aku ge-er, tapi aku yakin
banget kok. Aku tau kamu marah. Kamu bakal benci sama aku. Tapi aku udah siap,
Gam..
Maafin aku atas
keputusan aku ini. Kamu mungkin masih gak bisa terima aku tiba-tiba pergi gitu
aja dari kehidupan kamu setelah semua yg kita jalanin. Dan aku tau yg lebih
parah lagi adalah aku selingkuhin kamu. Aku ketemu cowok, dari Amerika.Aku
ketemu dia di club. Dia baik, Gam..
Dia
ada buat aku disaat kamu ada buat Gianna..
Gak usah kaget.
Aku udah tau semuanya. Kamu main sama Gianna di belakang aku selama enam bulan.
Gam, gak terasa kita udah pacaran selama dua tahun. Tapi maaf, aku harus pergi.Aku
akan tinggal sama Papa dan Peter akan jadi penerusnya nanti.. Ya, aku nanti
bakal menikah sama Peter..
Dulu sebelum ada Gianna, aku pernah janji sama
diri aku sendiri kalo aku akan berubah buat kamu dan Ibu kamu. Aku mau kita
suatu saat menikah. Haha.. Lucu kali ya
kalo kita punya anak..
Tapi kamu
tiba-tiba aja hancurin khayalan aku.. You played well,Gam. Very well. Kalo aja
Eka gak kasih tau aku, mungkin sampai sekarang aku masih ada di samping kamu
sebagai orang bodoh yg gak tau apa-apa. Oiya, tolong sampein salam dan
terimakasih aku untuk Eka.. He saved my life.
Makasih Gam untuk
dua tahunnya, itu semua berharga buat aku. Dan semoga juga berharga buat kamu..
Aku masih sayang
sama kamu.. Entah sampai kapan perasaan ini hilang tapi aku berdo’a semoga
secepatnya…
Aku maafin kamu,
kalo kamu minta maaf..
PS: Semoga kamu
bahagia ya, Gam..
0 comments:
Post a Comment