My Blog List

Monday, August 3, 2015

"Agam" (Short Story/Cerpen)

Posted by Salsa at 5:33 AM





_____

“Gam”
Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil namaku berkali-kali. Tanganku keram, leherku  sakit dan mataku terasa berair karena mengantuk. Aku mendongakkan kepala dan melihat anak laki-laki berambut keriting di depanku, ia memasang wajah ngeri sekaligus prihatin.
“Mimpi apa?” Bu Wike tersenyum. Tetapi pandangannya mencela. Aku tahu, dia memang tidak pernah menyukaiku. Sebenarnya, semua guru memang tidak ada yang menyukaiku.
“Mimpi ngeliat ibu jalan bareng pak Wira” jawabku sambil nyengir dengan lebar.
Ya, sudah kuduga aku akan menghabiskan sisa waktuku sampai pulang di lapangan. Bu Wike murka sekali saat aku bilang aku bermimpi bertemu dengannya yang sedang berdua dengan Pak Wira—dia digosipkan pacaran dengan pak Wira—sampai-sampai ia mencubit perutku keras sekali dan menyuruhku hormat ke bendera merah putih selama sisa pelajaran. Tapi itu tak jadi masalah. Aku cinta dengan Negeri ini.

Aku mencium wangi parfum Chanel Coco Mademoiselle, yakin sekali bahwa sekarang ini ada seorang gadis berambut cokelat panjang yang menghampiriku. Aku membalikkan badan dan menemukan Estella yang tersenyum manis.

“Hai, seperti biasa. Lama-lama itu muka keling deh tiap hari berdiri di sini” kata Stella, ia memberiku pandangan memaklumi.

“Abis ngapain?” kataku lalu menarik tangan Stella ke kursi taman yang letaknya tak jauh dari tiang bendera. “Ngerokok lagi, ya?”

Stella mengernyit sambil menatapku lekat-lekat, ia lalu tertawa pasrah. Dia cantik, tapi kacau. Dia memiliki hati yang sebenarnya baik, namun kebiasaannya lah yang buruk. Bahkan sepertinya lebih buruk dariku, tapi.. Dia adalah seorang gadis. Apakah seorang gadis berumur enam belas tahun pantas memakai rok sekolah yang amat mini, merokok di kamar mandi sekolah, mempunyai tato di lengannya—Stella menutupnya dengan jam tangan besar yang terlihat aneh—, atau pergi ke tempat hiburan hingga subuh. Semua pria normal pasti muak dengannya, tetapi tidak denganku. Aku mencintainya.

“Aku ‘kan udah bilang, jangan ngerokok terus” kataku dengan nada lelah, ia sungguh keras kepala.

“Emang kenapa? Kalo gak bolehnya karena takut aku mati, aku gak takut kok. Lagian, kamu juga ngerokok!” Stella melepaskan tangannya yang sedari tadi aku genggam, wajahnya kini cemberut.

“La, kamu ini cewek! Gak pantes—“

“Oh ya, terserah kamu gam”

Aku menghela nafas sambil memandangi punggung Stella yang kini menjauh. Rambut ikal cokelatnya yang terurai ke belakang terlihat indah saat bergoyang karena Stella berjalan dengan cepat—sekali-kali ia menengok ke belakang.
Orangtua Stella bekerja di Asutralia, mengelola perusahaan yang di wariskan kakeknya. Ibunya berasal dari Makassar, dan ayahnya dari Australia. Stella kesepian, aku tahu itu. Aku mengenalnya saat melihat ia keluar dari kamar mandi pria. Ia sedang mabuk saat itu. Sekolah sebenarnya mempunyai banyak suara untuk mengeluarkannya, tetapi sepertinya harta Stella lebih banyak dari semua suara itu.
Tenggorokanku terasa sangat kering ketika bel pulang berbunyi dengan nyaring. Aku lantas pergi ke kelas yang nyaris kosong. Bu Wike pastilah pulang duluan, itulah kebiasaan dia. Pulang dua puluh menit sebelum bel.
“Gam, balik gak?” Tanya Eka yang baru saja memasukkan buku-buku ke dalam tasnya dengan asal.Ia teman sebangkuku, dan juga teman menuju lubang neraka. Ia senang menemaniku berbuat sesuatu yang menyimpang.
“Iya, rokok dulu tapi” kataku, aku mengambil tas ku dan langsung keluar meninggalkan kelas bersama Eka. Menuju halaman kosong sebelah sekolah.
Aku menghisap rokokku dan menghembuskan asapnya kuat-kuat dengan harapan kepulan asap itu bias membawa semua masalahku pergi. Aku menghembuskan asap terakhir dari rokokku saat melihat sesosok gadis muncul. Eka menyikutku agar aku menghampiri gadis itu. Dia lalu mengajakku untuk menjauh dari Eka.
 “Hai, kenapa?” aku merasa suaraku tertahan.
Tak ada yang bisa kulakukan saat ini selain melingkarkan tanganku ke punggung Gianna. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi, apa maksud Gianna  melakukan ini—memelukku dengan erat secara tiba-tiba.Gianna benar-benar membuatku gila.
Gianna menatapku lekat-lekat, kedua tangannya masih melingkar di pinggangku. Jarak kami benar-benar dekat,aku bisa melihat bulu matanya yang panjang dan indah. Gianna tersenyum simpul, lalu ia berkata lirih.
“Makasih ya, Gam”
“Buat apa?”
“Buat semuanya. Cuma kamu yang selalu ada buat aku”
“Ya, tapi—“
“Aku sayang kamu, Gam” kata Gianna, matanya sekarang berkaca-kaca. Gianna meletakkan kedua tangannya di pipiku. Dia berjinjit lalu mencium keningku.
“Gi, tapi—“
“Tapi apa?”
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dia menyayangiku, apa itu salahnya? Sejujurnya aku juga menyayanginya, tapi… Bagaimana dengan Stella? Aku tak mungkin meninggalkan Stella. Tapi Gianna adalah gadis yang sempurna.Aku pun tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi..
“Gam, kenapa?” Tanya Gianna, matanya menatap mataku dalam. Aku makin tidak fokus.
“Stella..”
“Tapi aku juga sayang kamu, Gam. Aku butuh kamu untuk selalu ada buat aku. Dan aku juga yakin kamu butuh aku karena Stella gak bisa bikin kamu bahagia sepenuhnya”
Aku diam terpaku mendengar ucapan Gianna. Dia mengatakannya. Menjelaskan semua perasaan gusar ku selama ini. Stella tidak bisa membuatku bahagia sepenuhnya? Benarkah itu? Aku tidak ingin mempercayainya. Aku tidak ingin tetapi selama ini memang hanya Gianna yang bisa mengerti perasaanku, dia adalah gadis baik-baik. Dia adalah gadis yang diinginkan Ibuku untuk bisa menuntunku ke jalan yang benar.
“Aku gak mungkin khianatin Stella, dia.. dia udah terlalu lama sama aku dan gak mungkin aku ninggalin dia”
Gianna menundukkan kepalanya. Tak lama kedua bahunya berguncang pelan. Dia menangis. Kenapa dia harus menangis? Aku tidak suka melihat wanita menangis. Bahkan Stella tidak pernah menangis lagi di depanku semenjak aku mengatakan itu kepadanya.
Aku menariknya mendekat dan menempelkan kepalanya ke dadaku. Aku yakin Gianna pasti bisa mendengar jantungku yang berdetak kencang.
“Gi, jangan nangis. Aku gak mau liat kamu nangis”
Begitu sedihnya kah Gianna? Sampai-sampai tangisnya tidak berhenti dan semakin dalam. Bajuku basah, aku tahu itu. Kenapa air matanya tidak habis? Apa dia tidak lelah menangis terus seperti itu? Lagipula jantungku juga tidak ingin berdetak lebih kencang lagi.
“Oke Gi, oke. Aku akan jalanin apa yang kamu mau”kataku akhirnya. Aku ragu tetapi aku berusaha untuk meyakinkannya lewat suaraku yang tegas.
Gianna lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggangku dengan posisi masih seperti tadi. Apa dia tidak tahu bahwa sesungguhnya aku lelah berada di posisi seperti ini. Memeluknya di dadaku tetapi dalam dadaku menolak mentah-mentah karena hatinya milik orang lain.

***
Stella terbaring di tempat tidur dengan dress tanpa lengan warna hitam masih menempel di tubuhnya yang kurus itu. Aku membayangkan semalam ia pulang jam tiga pagi dengan sempoyongan. Dia pasti diantar pulang oleh Kathleen—temannya yang sangat setia mengantarnya pulang setiap kali ia mabuk. Aku tahu itu.
Aku menarik selimut ke tubuhnya, lalu mengecup keningnya sekilas. Saat aku memutar kenop pintu kamarnya, aku mendengar dia mengumamkan namaku. Aku menoleh ke belakang, Stella tersenyum manis. Wajahnya terlihat lebih lucu saat ia baru bangun tidur.
“Jangan suka cium anak orang” kata Stella, ia tersenyum menggodaku. Aku tertawa dan kembali menghampirinya lagi.
“Biarin” balasku lalu menjulurkan lidah.
“Laper nih” kata Stella sambil memegangi perutnya.Aku menggeleng-geleng pelan.
“Sikat gigi dulu, nanti aku bikinin sarapan”
Baru saja aku bangun, aku merasakan kedua tangan Stella melingkar di pinggangku.Aku merasakan hembusan nafasnya yang hangat. Ia lalu berkata lirih,
Forehead kiss, please?”
Aku tersenyum kecil lalu membalikkan tubuhku saat Stella melepaskan pelukannya. Ia nyengir sebentar. Aku menundukkan kepalaku untuk mencium puncak kepalanya. Aku sangat menyukai aroma wangi rambut Stella, segar dan manis.
“Agam Bumiputra” kata Stella, ia melingkarkan tangannya ke pinggangku lagi dan menempelkan pipi kanannya di perutku.
“Yes, Miss Johnson?” Aku mengusap lembut rambutnya.Ia terkekeh pelan. Dia bilang aneh rasanya jika aku memanggilnya dengan nama belakang.
I love you with all of my heart,so please do not ever leave me
Hatiku mencelos. Kalimat Stella tadi benar-benar menohokku. Seperti ada palu besar yang kini memukuli seluruh tubuhku.Aku malu.Aku tak bisa.Apa yang harus kulakukan. Aku mengkhianatinya. Aku mengkhianati orang yang benar-benar menyayangiku.
Lima bulan sudah cukup. Aku tak bisa menyakitinya lebih dalam lagi. Tapi.. bagaimana aku bisa meninggalkan Gianna? Apa yang harus kukatakan padanya? Aku sungguh tak—
“Gam, kamu sayang aku kan?”
***
“Sayang banget”
Begitulah jawaban Gianna tiap kali aku menanyakan perasaannya terhadapku. Dan belum berubah hingga saat ini. Aku melingkarkan lenganku ke pundaknya, dan dia meletakkan kepalanya ke pundakku. Aku tak ingin membayangkan Stella sedang jalan-jalan di taman dan melihatku. Bersama Gianna.
“Gi, kamu yakin masih bisa ngejalanin ini?” tanyaku mantap. Dan rasanya aku ingin sekali Gianna menjawab bahwa dia tidak ingin menjalaninya lagi, bahwa dia tidak ingin bersamaku lagi dan memilih pergi. Tetapi aku tahu itu mustahil karena jawabannya menamparku dengan keras.
“Aku akan bertahan, Gam,” kata Gianna mengangkat kepalanya dari bahuku dan menatapku.”Aku tau kamu masih ragu karena kamu masih sayang Stella”
“Aku akan terus sayang sama Stella, Gi.Aku gak akan pernah bisa lupain Stella dan—“
Bulir air mata Gianna menggumpal di sudut matanya. Sudah siap jatuh. Oh,ya aku akan membiarkan itu jatuh. Sampai habis kalau perlu. Supaya tidak akan ada kepura-puraan lagi di antara aku dan Gianna.
“Aku tau Stella emang gak sebaik kamu. Stella sama sekali bukan permpuan yang baik yang aku bisa banggain di depan Ibu aku, tapi aku gak perduli itu. Aku sayang sama Stella. Aku salah selama ini,” kataku lancar. Ya, memang aku sudah menyiapkan ini dari jauh-jauh hari.
“Kamu emang gak sayang sama aku?”
“Aku sayang sama kamu. Tapi aku lebih sayang Stella. Aku gak sadar kalo selama ini dia yang sebenernya ada buat aku, bukan kamu...
Aku yang brengsek. Aku tahu itu. Aku mengkhianati Stella. Dia gadis baik tetapi dia tidak mempunyai kesempatan untuk menunjukkannya kepadaku karena aku terlalu sibuk membenci semua yang salah pada dirinya. Aku terlena pada perlakuan baik Gianna kepadaku.
Tetapi Stella… Aku tidak pernah ada untuknya. Seharusnya aku mengantar Stella pulang saat Kathleen menelfonku kalau Stella mabuk berat. Tetapi aku datang pada pagi harinya. Seharusnya juga aku menasihatinya bahwa sering mabuk bukanlah hal yang baik sebagai perempuan.
Sedangkan dia.. Dia datang ketika aku bertengkar dengan Ibuku karena aku tertangkap habis mabuk saat itu. Stella di caci maki oleh Ibu karena dia memakai hotpants dan kaus ketat ke rumahku. Tetapi dia tidak perduli, dia datang ke rumahku dan membawaku pergi.
Dia selalu berusaha untuk ada. Tetapi aku seakan tidak pernah mengizinkannya.
“Maaf, Gi. Aku udah gak bisa. Aku sayang sama Stella, dan itu gak akan pernah berubah”
Gianna mengangguk pelan. Dia tersenyum pedih. Air matanya masih mengalir deras di pipinya yang bersih. Dia lalu bangun dari kursi taman ini dan berjalan menjauh dariku. Saat dia sudah tidak terlihat lagi, aku meyakini diriku bahwa mungkin tadi adalah terakhir kalinya aku melihat Gianna.


***
Keadaan rumah Stella sedikit berubah sejak terakhir kali aku kesini saat aku membawakannya seikat bunga dan berbagai macam snacks untuknya.Itu sekitar tiga minggu lalu. Sekarang rumahnya jauh lebih rapih. Entah kenapa aku jadi berharap Stella memakai dress berwarna soft pink yang pernah aku belikan untuknya. Aku sangat bahagia akan bertemu dengannya setelah seminggu yang lalu aku memisahkan diri dari Gianna. Aku merindukan Stella. Sangat.
Aku lalu berlari menaiki tangga menuju kamar Stella dengan semangat. Aku ingin segera memeluknya. Mengatakan kepadanya bahwa aku sudah bebas dan aku akan selalu terus bersamanya.Meskipun aku yakin dia tidak mengerti maksudku. Kupikir tidak perlu untuk mengatakan kepadanya soal Gianna.
Stella sedang memilih pakaian di lemari besarnya ketika aku masuk ke kamarnya. Apa mungkin dia ingin berganti pakaian dengan dress soft pink yang aku berikan? Aku segera menghampirinya. Dia tersenyum.
“Maaf aku gak hubungin kamu selama seminggu. Aku kangen kamu” kataku sambil mendekatinya. Dia hanya tersenyum lagi sambil mengangguk.
Stella lalu menghampiri kasurnya yang dipenuhi pakaian. Apa Stella akan menjual semua pakaian brandednya? Dia memang mempunyai kebiasaan menjual pakaian yang menurutnya sudah out of date.
“Kamu mau jual baju? Kok banyak banget, La?”kataku sambil duduk di sampingnya.
“Gak kok” katanya. Dia sibuk memilih-milih pakaian yang berserakan di kasur.
“Terus?”
Stella menghentikan pekerjaannya. Dia menghembuskan nafas pelan lalu menatapku. Sebuah senyuman kecil muncul dari bibirnya. Dia sungguh cantik. Aku tidak bisa membayangkan perempuan yang lebih cantik dari Stella. Mungkin tidak ada. Kalaupun ada, aku akan tetap menganggap Stella sebagai perempuan paling cantik yang pernah kulihat.
Aku ingin memegang tangannya, aku ingin memainkan rambutnya yang indah, aku ingin mengusapkan tanganku yang dingin ke pipinya yang selalu hangat, aku ingin memeluknya, aku ingin bersmaanya, aku ingin..
“Babe, do you want to bring your pig doll?”
Seorang pria asing  berambut blonde, berbadan tinggi dan tegap berdiri di pintu kamar Stella. Terpaku. Sambil membawa boneka babi besar di tangannya.Setahuku Stella menyimpan boneka itu di kamar tamu. Boneka itu adalah hadiahku untuk Stella saat dia berhasil mendapat sembilan pada mata pelajaran Biologi. Dan Stella benci Biologi.
“Babe, who is he?” kata laki-laki itu lagi. Wajahnya menyorotkan kebingungan.
Stella menghampiri laki-laki itu dan mengambil boneka babinya dan meletakkan benda itu di sofa kecil. Dia lalu mengamit lengan laki-laki itu dan berjalan keluar kamar. Meninggalkan aku sendirian di kamarnya yang terang.
Babe? Kenapa laki-laki itu memanggil Stella dengan panggilan sayang semacam itu? Stella adalah pacarku. Tidak seharusnya laki-laki itu memanggil Stella dengan panggilan sayang itu. Hanya aku yang boleh memanggilnya dengan panggilan sayang. Apa laki-laki itu tidak tahu bahwa Stella sudah mempunyai pacar? Aku pacarnya. Stella milikku. Aku tidak akan pernah rela Stella mendapat panggilan seperti itu dari orang lain.
Dan kenapa Stella mengamit lengan pria itu? Kenapa Stella tidak menjelaskan bahwa aku adalah pacarnya. Kenapa Stella harus membawa pria itu keluar kamar ini? Ada apa? Apa maksud Stella? Aku tidak mengerti. Stella tidak seharusnya begini.
Aku keluar kamar Stella dan mencari mereka. Aku akan menjelaskan kepada laki-laki itu kalau aku adalah pacar Stella dan tidak seharusnya dia memanggil pacarku dengan sebutan seperti itu. Di depannya aku akan merangkul Stella dan mencium puncak kepalanya.
Tetapi..
Aku melihat mereka. Stella mencium pipi laki-laki itu dan mereka… Aku tidak percaya. Apa yang mereka lakukan? Apa Stella tidak sadar apa yang dilakukannya?
Aku segera menghampiri mereka dan mendorong laki-laki itu agar menjauh dari Stella. Aku memukul pelipis laki-laki itu hingga ia tersungkur jatuh. Aku ingin memukulinya sampai ia mati tetapi Stella menarik bahuku.
“Gam, stop. Stop” kata Stella sambil menahan kedua lenganku.
“Kenapa? Kenapa aku harus berhenti? He kissed you! Why I should stop?
Stella mulai menangis.
“Aku gak suka liat kamu nangis!”
Stella menggelengkan kepalanya sambil masih menangis. Aku benci melihatnya menangis. Dia adalah gadis kuat. Kenapa dia harus menangis. Apa dia menangisi laki-laki yang sekarang tak berdaya di lantai? Untuk apa?
“Dia siapa, La?” Aku mencengkram pergelangan tangannya keras.
“Gam..”
“Dia siapa?!” Kali ini aku membentaknya.
Stella menangis makin menjadi-jadi. Aku menghembuskan nafas gusar. Kenapa sih anak ini harus menangis? Tidak ada yang perlu ditangisi. Dia hanya perlu bilang padaku bahwa laki-laki itu hanya orang gila yang terobsesi padanya. Stella bisa bilang padaku bahwa—
“I’m her boyfriend, don’t you dare to touch her” kata laki-laki itu serak.
Aku melepaskan cengkramanku di tangan Stella. Aku menarik rambutku sampai rasanya semua rambut itu keluar dari kulitnya. Aku berteriak sekuat tenagaku. Stella masih terus menangis. Dia tampak sangat ketakutan.
“Bilang sama aku kalau dia bohong” Aku berteriak kepada Stella sampai gadis itu tersentak kaget.
“DIA BOHONG KAN? JAWAB IYA LA! JAWAB IYA!”
Kedua bahu Stella berguncang cepat. Aku belum pernah melihatnya menangis seperti ini. Tetapi dia tidak boleh menangis. Dia hanya perlu menjawab “ya” dan semua masalah akan selesai.
Laki-laki itu bangun dan memeluk Stella. Aku membiarkan mereka. Bukannya karena aku mau, tetapi karena aku tidak sanggup lagi. Aku terlalu lemas untuk memisahkan mereka. Aku tidak bisa lagi memukul laki-laki itu seperti tadi. Aku tidak punya kekuatan dan alasan untuk itu.
“You okay, babe?” Laki-laki itu mengusap kepala Stella. Seharusnya aku yang melakukan itu.Bukan dia.
“I told you that I am her boyfriend. Why you gotta be so mad, man? Stella and you are no longer in relationship”
Aku hanya tersenyum miris mendengarnya.

.
.
.
.
Aku masih bisa menggambarkan bagaimana ekspresi Stella saat itu. Saat dia mengatakan kepadaku bahwa ia akan pergi ke Australia dan menetap disana. Wajahnya basah karena air mata. Matanya merah. Tetapi dia masih terlihat cantik bagiku.
Hatiku sangat sakit saat dia mengakui kalau laki-laki itu, Peter, memang pacarnya. Terdengar aneh karena sebenarnya saat itu aku masih menjadi pacarnya. Tidak pernah ada kata putus diantara kita berdua. Bahkan sampai saat ini.
Aku tidak mendapatkan kejelasan sepenuhnya saat itu. Stella tidak memuaskan rasa ingin tahuku tentang mengapa dia bisa berpaling ke Peter. Kenapa dia bisa meninggalkanku? Bagaimana bisa dia melakukan itu?
Aku rasanya hampir mati saat pulang kerumah. Stella meninggalkanku. Dia bersama laki-laki lain. Dia tidak akan pernah muncul di hadapanku lagi. Hatiku sakit. Sangat sakit sampai rasanya aku ingin menancapkan pisau di dadaku biar rasa sakit itu hilang. Aku gila tanpanya.
Aku bahkan tidak bisa memeluknya saat itu. Untuk terakhirnya. Stella adalah gadis yang selalu ada di pikiranku. Bagaimana aku bisa menghapusnya?
Aku gila, Stella. Aku gila.
Tetapi hatiku semakin tertusuk saat aku membaca surat yang ia tulis untukku. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Ini semua di luar pikiranku. Aku tahu aku harus bangkit. Tetapi aku tidak tahu caranya.
“Gam..”
Ibu masuk ke kamarku. Dia tahu. Dia tahu bahwa anaknya sedang sekarat, berjuang melawan sakit. Ibu paham. Ibu mengerti. Dia selalu mengerti. Dan aku tidak bisa merasa lebih baik dari itu. Saat Ibu memelukku. Aku merasa seperti anak laki-laki berumur enam tahun yang jatuh dari sepeda. Menangis karena luka di lutut.
Tetapi saat aku menatap wajah Ibu, aku melihat kerutan di wajahnya menandakan dia tidak semuda dulu saat aku terjatuh dari sepeda. Aku anak laki-laki berumur delapan belas tahun. Menangis konyol karena cinta. Lalu aku merasa bodoh. Merasa malu pada Ibu.
Aku selalu berbuat dosa. Aku tidak pernah menurut padanya. Dia selalu marah padaku tetapi masih memelukku dalam pelukan hangat saat aku menangis seperti ini. Aku menyi-nyiakan segalanya. Hidupku sia-sia. Aku terlalu banyak berbuat salah.
“Sudahlah, nak. Ibu tau Agam sedih, tapi Agam harus kuat. Ini pelajaran buat Agam. Ibu akan sama Agam terus”
Mungkin aku salah pernah bilang bahwa aku mencintai Gianna, ataupun Stella. Tidak ada perempuan yang pernah kucintai selain Ibuku. Perasaanku kepada Gianna dan Stella hanyalah perasaan kekanak-kanakan bocah laki-laki delapan belas tahun.
***
Dear, Agam Bumiputra..
Mungkin saat kamu baca ini, kamu lagi nangis karena aku. Bukannya aku ge-er, tapi aku yakin banget kok. Aku tau kamu marah. Kamu bakal benci sama aku. Tapi aku udah siap, Gam..
Maafin aku atas keputusan aku ini. Kamu mungkin masih gak bisa terima aku tiba-tiba pergi gitu aja dari kehidupan kamu setelah semua yg kita jalanin. Dan aku tau yg lebih parah lagi adalah aku selingkuhin kamu. Aku ketemu cowok, dari Amerika.Aku ketemu dia di club. Dia baik, Gam..
               Dia ada buat aku disaat kamu ada buat Gianna..
Gak usah kaget. Aku udah tau semuanya. Kamu main sama Gianna di belakang aku selama enam bulan. Gam, gak terasa kita udah pacaran selama dua tahun. Tapi maaf, aku harus pergi.Aku akan tinggal sama Papa dan Peter akan jadi penerusnya nanti.. Ya, aku nanti bakal menikah sama Peter..
 Dulu sebelum ada Gianna, aku pernah janji sama diri aku sendiri kalo aku akan berubah buat kamu dan Ibu kamu. Aku mau kita suatu saat menikah. Haha.. Lucu  kali ya kalo kita punya anak..
Tapi kamu tiba-tiba aja hancurin khayalan aku.. You played well,Gam. Very well. Kalo aja Eka gak kasih tau aku, mungkin sampai sekarang aku masih ada di samping kamu sebagai orang bodoh yg gak tau apa-apa. Oiya, tolong sampein salam dan terimakasih aku untuk Eka.. He saved my life.
Makasih Gam untuk dua tahunnya, itu semua berharga buat aku. Dan semoga juga berharga buat kamu..
Aku masih sayang sama kamu.. Entah sampai kapan perasaan ini hilang tapi aku berdo’a semoga secepatnya…
Aku maafin kamu, kalo kamu minta maaf..
PS: Semoga kamu bahagia ya, Gam..




  

0 comments:

Post a Comment

 

Fly away with me☂ Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review

Hetalia: Axis Powers - Liechtenstein